Sudah satu minggu Aira menjalani
status barunya sebagai Mahasiswa. Ia in the kos, di jalan Jombang dekat
kampusnya. Ia yang tidak bisa naik motor bisa ke kampus hanya dengan jalan
kaki. Ya dia adalah pedistrian
sejati, ia tak mau ikut merusak bumi dengan menambah sesak emisi di bumi ini
dengan berkendara motor.
Aira,
datang terlalu pagi hari ini masih kurang seperempat menit lagi hingga jam
tujuh kuliah ekonomi Mikro di kelas E 103. Ia menunggu di taman kampusnya,
belum satupun temannya datang. Sambil mendengarkan musik melalui Ipod pink,
agak kontras memang Aira lumayan tomboi tapi sangat menyukai warna pink.Tapi
dia tidak sendiri ada orang lain, yang
juga selalu datang pagi dan duduk di taman yang berada diantara gedung E3 dan
E4. Dia adalah si rambut tin-tin itu. Laki-laki yang menemaninya menikmati
drama akhir OSPEK nya.
Ada
rona merah di pipi Aira, jelas sekali ia mencuri pandang dan mengamati setiap
detail yang dilakukan si rambut tin-tin itu. Tapi kenapa ia merasa ada sepi
setiap melihat si rambut tin-tin itu ?
####
“
Langsung pulang Ra ? “ tanya Denia, selepas mereka kuliah ekonomi mikro.
Yang
ditanya hanya menggeleng, “ aku mau ke perpus dulu, ikut gak ? “
Denia,
menggeleng “ Gak dech, malas sama kamu mainnya ke perpus muluk “
Aira
tetawa.
Akhirnya
Aira ke perpustakaan sendiri, ia duduk di dekat jendela. Di bangku ini ia dapat
melihat jelas pemandangan di luar perpustakaan. Aira membuka laptopnya dan
memulai mengetik tugas yang diberikan dosen ekonomi mikronya. Sesekali jalan
untuk mengambil buku di rak yang tak jauh dari tempat ia duduk.
Ia
beruntung bisa kuliah di Universitas ini, koleksi bukunya lengkap dan memiliki
gedung perpustakaan yang luas. Tempat yang nyaman untuknya menyendiri.
Lalu,
Brukk...!!!
“
Ow...”
“
Sorry “
Aira
reflek jongkok memunguti buku yang berjatuhan gara-gara ia ditabrak dengan dia.
Oh, gosh tiba-tiba wajah Aira memerah.
Dia
ikut membantu merapikan buku Aira.
“
Sorry ya, aku gak lihat jalan “
“
Nope “ jawab Aira pelan menutupi gugupnya.
Aira,
berjalan melewati laki-laki itu dengan cepat. Oh, kenapa jantungnya berdetak
kencang. Ia berjalan menunduk tak berani melihat sosok yang menabraknya tadi.
Hari itu ia menulis dalam Diarynya awal ia berbicara dengan rambut tin-tin itu.
Dan sepanjang sisa hari itu Aira tak berhenti tersenyum.
###
“Namanya
siapa Den?“ tanya Aira, tangannya yang sibuk memainkan kursor terhenti. Tegang.
“
Rafli Perdana Abdi, panggilannya Rafli. “
“...”
“Antusias
banget sih, Ra? Kamu naksir dia ya? Hayooo ngaku...” Tanya Denia genit. Aira
mengibaskan tangannya kikuk.
“
Enggak, aku penasaran aja...kok ada anak seperti itu di kampus kita. Hehehe..”
“Ngaco
loe, lagak loe...halah, bilang aja kalo naksir entar aku mintakan sekalian no
HP Rafli ke Darwin. Ayoo..mau gak?“ tawar Denia.
Aira
menggeleng, baginya tau nama si rambut tin-tin saja sudah cukup. Dia memiliki
banyak rencana, baginya tau nama Rafli adalah tiket menuju kedekatan dia dan Rafli.
Aira tersenyum mantap. Sementara Denia menatapnya sangsi.
“Kenapa, Den?”
tanya Aira.
“Gak, aku agak
takut kalau kamu senyum-senyum gitu. Perasaan jadi gak tenang aja”
“Sialan kamu”
Aira melempar tutup ballpoin ke Denia.
“Ha..ha...ha..”
Denia terbahak.
Sore
selepas pulang dari perpustakaan untuk mencari bahan tugas kuliahnya, Aira
mampir ke ruan TU di fakultasnya. Ada yang harus dia cari.
“
Nyari apa dek ? “ tanya bapak-bapak yang duduk di depan meja tempat Aira
berdiri.
“
Eh, itu pak nyari buku alamat dosen. Mau nyari nomor telpon Pak Agus “
“Oh,
ini “ kata bapak-bapak berkumis tebal itu, sambil menyerahkan buku berwarna
hijau kumal. Aira menerimanya dengan senyum. Lalu matanya menyusuri nama-nama
dosen yang tersusun berdasar abjad.
Ketika
matanya melihat nama Agus Prasetyo, Aira tersenyum. Ia mengambil notebooknya dan
mencatat nomor telpon rumah Pak Agus yang tak lain juga nomor rumah Rafli-si
rambut tin-tin. Aira bergegas meninggalkan ruang TU. Sore itu kisah itu
dimulai, dan kisah itu seharusnya berakhir manis. Bukankah seperti itu?
Komentar
Posting Komentar