Langsung ke konten utama

Postingan

Cukup

Merasa cukup itu penting, tidak semua butuh jawaban. Ibaratnya mendaki gunung, bukan berarti kita harus tahu bagaimana wujud puncaknya kan? Bisa jadi jawaban dan rasa puas itu ada saat kita berada di lereng. Cukup bukan berarti menyerah, tapi tahu batasnya. Rasa penasaran seringkali membuat kita berusaha mencari tahu, memaksa keadaan untuk sesuai dengan keinginan kita. Hingga akhirmya hal inilah yang membuat kita tidak pernah merasa puas. Memaksa kehendak. Ilustrasi/copyright pexel Tidak semua hal harus sesuai dengan keinginan, bukankah kita harus lebih menyiapkan diri untuk hal yang kurang menyenangkan? Siapa sih yang butuh persiapan untuk hal yang menyenangkan? Pada akhirnya, siapkan diri kita untuk hal yang di luar kendali. Siapkan diri untuk kegagalan. Kita bukanlah pusat semesta, sehingga semua orang memiliko kewajiban untuk memahami diri kita. Belajar untuk lebih banyak mendengarkan dam tidak mengkerdilkan usaha orang lain. Cukup bukan berarti menyerah, tapi me
Postingan terbaru

Keras Kepala

Tidak ada orang yang keras kepala. Itu menurutku, salah satu sifat manusia adalah hanya ingin mendengarkan apa yang ia inginkan. Jarang bahkan tidak ada orang yang rela mendengarkan hal yang bertentangan dengan prinsipnya. Egois? Memang demikian adanya. Di satu sesi curhat teman saya, ia pernah membentak saya. Mengatakan orang keras kepala itu benar-benar enggak punya perasaan. Mungkin ia terlalu sering mendengar cerita tentang saya yang suka apa adanya kalau menolak seseorang, menganggap perasaan orang lain bukan tanggung jawab saya. Sayangnya, ia hanya melihat sisi luar saya dan memang untuk apa saya menjelaskan sesuatu yang tidak ingin ia dengar? Kembali ke perkara keras kepala. Jika kamu memang ingin mendapat penerimaan, apa yang kamu katakan dapat diterima pastikan hatinya sudah kau bawa. Jika belum, jangan pernah berharap mendapat penerimaan. Segala hal yang baik tidak akan pernah ia dengar, karena seperti yang aku bilang di atas: kita hanya ingin mendengar apa yang kita i

It's Ok

2019 sudah hampir berakhir. Rasanya baru kemarin menulis deretan resolusi yang berulang tiap tahunnya. Menulis keinginan dan apa saja yang ingin kulakukan. Sebagian berhasil tercentang, dan tak sedikit yang mugkin akan kutulis di malam pergantian tahun 2020 nanti. It's, ok. Hal ini bukan sesuatu yang buruk kok, meskipun masih ada rasa 'njangget' di hati. Tahun lalu menulis jika 2019 ini pengen lebih "tega" sedikit, enggak terlalu memikirkan apa kata orang dan membuang jauh rasa "enggak enakan" sama hal yang gak mendatangkan manfaat. Rasanya udah capek dimanfaatin terus, rasanya sudah muak dengan "menjaga perasaan" tapi yang dijagain enggak ngerasa. Tapi, ketika ingin memulai perasaan enggak enak itu muncul lagi. Masak sih, cuek ini yang bikin aku bahagia? 2019 mungkin aku terlalu perhitungan, enggak los. Jadi merasa apa yang aku lakukan dan jika berakhir timpang merasa dunia tidak adil. Mungkin, aku sudah lupa jika yang namanya adil itu

Jeda

Kita akan baik-baik saja kan? Pertanyaan itu yang selalu kurapal sepanjang perjalanan dari rumahnya hingga Bandara, sore itu. Ia tersenyum ke arahku. Lalu mengusap rambutku pelan. "Tentu saja, kita akan selalu baik-baik saja. Selama ada kita, tak ada yang perlu kamu takutkan, Hon." Aku tersenyum, berusaha tenang dengan kata-katanya barusan. Aku mencintai Bandara, sekaligus membenci tempat ini. Mengantarnya ke Bandara artinya aku harus bersabar dengan pertemuan selanjutnya yang mungkin 2 atau 3 bulan lagi. "Kamu takut?" Tanyanya. Aku tak menjawab, hanya merapatkan tubuhku padanya. Dia menenggelamkan kepalaku di dadanya, hingga aku mendengar degup jantungnya dengan jelas. Dan, ah aku akan selalu merindukan wangi ini. Sore itu aku tidak merasa biasa, dia tampak berbeda. Dan aku merasa tidak nyaman dengan suasana Bandara. "Baik-baik di sana," kataku, dan tanganku memegangi ujung bajunya. Dia tertawa. "Tentu saja. Kamu juga,

Rendezveus

Ki, kamu itu teman kesayangan. Ki, nanti Angga ngajak aku nonton. Ki, temenin ngobrol ya. Ki, aku kesel sama temen kantorku. Ki, ke Jogja yuk? Ki, aku bete...makan enak yuk? Ki, kangen. Ki, aku pengen curhat. Ki, aku bosan. Makan yuk? Ki, ini lucu enggak? Ki, Angga nembak aku. Ki, aku menerima Angga. Dan tak ada lagi panggilan darinya. Puncaknya adalah saat kami mengobrol di Houtend Hand menjelang akhir tahun di tahun 2014. “Dis, aku enggak pernah menganggapmu seorang teman. Aku mencintaimu.” Dan sejak itu, Disty tak lagi sama memandangku. “Aku kecewa sama kamu, Ki.” Disty meninggalkanku, dan Chocorado yang belum sempat ia minum pun dingin.

Tentang Masa Lalu

Karena yang pergi belum tentu ingin kembali. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya panik mencari kunci rumahnya. Kunci dengan gantungan dari kain flanel berbentuk Dinosaurus. Melihatnya berkeliling di area parkir Gramedia Basuki Rahmad, mencari kunci rumahnya. Aku mendekatinya. “Kamu mencari ini?” kataku menyodorkan kunci dengan gantungan kunci berbentuk Dinosaurus. Ia yang duduk jongkok, mendongak ke arahku. Matanya berbinar, bahagia. “Iya! Kok tahu? Ketemu di mana? Aaak...makasih ya.” Aku tersenyum, “Tadi kamu menjatuhkannya di sini, aku sengaja menunggumu di sini. Hehehe.” “Oh,” “Rizky,” kataku, mengulurkan tangan ke arahnya. Ia memandang tanganku, “Disty,” sambutnya. Setelah ia menyambut uluran tanganku, ia pamit. Mungkin merasa aneh begitu ia tahu aku sengaja menunggunya kembali ke area parkir untuk mencari kunci alih-alih memanggilnya. Aku memandang punggungnya menjauh, aku melihatnya berjalan ke arah warung waralaba milik Rona

Pulang

Malang, Januari 2018 Kembali ke kota ini mungkin hal yang tidak pernah aku bayangkan. Sempat terpikir mungkin hanya kebetulan yang akan membawaku kembali ke Malang, setelah kejadian tidak menyenangkan bersama Disty. Ketika akhirnya aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam. “Ki, tanggal 5 besok kamu berangkat ke Malang ya? Stay di sana selama 2 bulan. Ada yang tidak beres dengan laporan Adit.” Ucap atasanku dari sambungan telpon yang aku terima di malam pergantian tahun. “Ok,” sanggupku. Maka di sinilah aku, kembali ke Malang. Kota yang selama 3 tahun ini sangat kuhindari tapi sekaligus kurindukan. Aku menutup laptopku, melepas kacamata dan memijat pelipisku pelan. Aku beralih  ke balkon kantorku saat ini. Ruanganku terhubung langsung dengan balkon yang menghadap ke arah jalan. Dari sini aku dapat melihat Jalan Wilis. Jalan yang biasa aku lalui saat akan berkunjung ke rumah Disty. Dis, aku kangen kamu. Seharusnya aku bisa menghubungi Disty sekarang. Entah