Kita akan baik-baik saja kan?
Pertanyaan itu yang selalu kurapal sepanjang perjalanan dari rumahnya hingga Bandara, sore itu. Ia tersenyum ke arahku. Lalu mengusap rambutku pelan.
"Tentu saja, kita akan selalu baik-baik saja. Selama ada kita, tak ada yang perlu kamu takutkan, Hon."
Aku tersenyum, berusaha tenang dengan kata-katanya barusan. Aku mencintai Bandara, sekaligus membenci tempat ini. Mengantarnya ke Bandara artinya aku harus bersabar dengan pertemuan selanjutnya yang mungkin 2 atau 3 bulan lagi.
"Kamu takut?" Tanyanya.
Aku tak menjawab, hanya merapatkan tubuhku padanya. Dia menenggelamkan kepalaku di dadanya, hingga aku mendengar degup jantungnya dengan jelas. Dan, ah aku akan selalu merindukan wangi ini.
Sore itu aku tidak merasa biasa, dia tampak berbeda. Dan aku merasa tidak nyaman dengan suasana Bandara.
"Baik-baik di sana," kataku, dan tanganku memegangi ujung bajunya. Dia tertawa.
"Tentu saja. Kamu juga, jangan suka ngambek nanti dosis tolak anginmu bertambah setiap harinya." Katanya sambil mengusap hidungku yang kini memerah karena menahan nangis.
"Enggak.."
"Hahaha..." tawanya, lalu memelukku erat. "I love you, Hon. Sekarang dan selamanya."
"I love you, too."
Ia melapaskan pelukannya, dan melangkah ke arah pintu keberangkatan. Aku melambaikan tangan, tersenyum dan melihat senyumnya yang terasa ganjil sore itu.
...
Aku menatap layar handphoneku dengan nanar. Group Whatsapp ramai membahas pesawat QZ8501 yang jatuh. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu. Aku limpung, dan semua terasa gelap.
Endingnya :(
BalasHapus