Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

(last) Memories.

Memories just memories @perihujan_   “Apa kabar?” Aku menemukan satu pesan offline di messengerku. Pesan darimu, ragu aku membalasnya. Antara gengsi dan niat untuk sekedar memberitahu bahwa aku baik-baik saja, meski tanpamu. Tapi gengsiku terlalu tinggi, dan aku memilih untuk menghapus pesan darimu. Kamu, biarkan aku lupa. Malang hari ini mendung, mungkin saja hujan akan segera turun. Seminggu ini hujan setia membasuh Malang yang kian pengap. Sepertinya ia tahu, aku perlu banyak hujan agar ngiluku segera menghilang. Aku mengaduk choco perfaitku. Masih teringat sehari setelah kita memutuskan berpisah, apa kita? Kurasa ini hanya keinginanku saja. Aku yang lelah dengan jarak yang semakin lama semakin jauh. Malam itu kamu berkali-kali mengatakan hal yang sama, mengapa? Ah, iya mengapa kita yang selalu tampak baik-baik saja harus berpisah, mengapa kita yang selalu menabahkan jarak dengan doa akhirnya menyerah? Dan entah berapa mengapa lagi yang kau utarakan. Te

Berkata TIDAK.

TIDAK!!! seandainya saya begitu mudah mengatakan penolakan itu, seandainya saya semudah seperti menuliskannya saat saya harus mengucapkannya. Saya orangnya lebih 'mendem jero' lebih memilih menyakiti perasaan saya ketimbang, melihat rasa kecewa orang terdekat saya. Lebih baik berkata gak papa meski ada apa-apa. Terkadang capek juga menjalani hal-hal yang sama sekali bukan menjadi keinginan saya, menolak hal-hal yang bukan saya inginkan. Mengatakan kepada semuanya bahwa saya sedang tidak baik. Mungkin sikap saya ini tidak hanya membuat beberapa orang kecewa, tetapi termasuk Dia.

Rendezvous

Biarkan aku berbahagia dengan sendiriku, meski aku tahu bersamamu aku akan jauh lebih baik -- @perihujan_ Aku meletakkan segelas Iced coffee dan French fries di meja paling pojok di warung laba ini. Meja yang berada di dekat kaca lantai dua, tempat yang aku pilih untuk melihat riuhnya Malang pada malam hari. Seperti malam ini, dan malam sebelumnya. Ketika aku membutuhkan sendiri. Aku mengaduk Iced coffee ku, dan meraih hanphoneku lalu membuka aplikasi foursquare untuk check in. ‘I am at MCD Kayutangan, Malang – East Java’ Kebiasaan yang selalu aku lakukan ketika aku berkunjung di suatu tempat. Tak peduli, meski tak akan ada satu pun yang peduli aku berada di mana. Aku membuka akun twitterku, beberapa akun menghiasi lini masaku. Salah satunya kamu. Aku membuka akun twittermu dan memulai menjadi stalker , kegiatan yang tanpa kusadari menjadi rutinitas sejak dua bulan ini. Sejak kamu menjadi rutinitasku. Seperti yang sering kali kukatakan padamu, tak ingin tahu

Ketika (harus) lupa.

Beberapa hari ini dipaksa untuk lupa, tentang beberapa hal salah satunya tentang kamu. Kamu yang menumpuk di balik meja belajarku, di sela rak-rak bukuku, di antara agenda kegiatan. Kamu. Beberapa hari ini dipaksa untuk terbiasa, tentang beberapa hal yaitu kesibukan. 'Tuhan sedang memintaku untuk sejenak menaruh semua hal tentangmu ditempat paling bawah.' Agar aku tahu, melupakanmu mungkin akan menjadi biasa bagiku, Agar aku tahu, merelakanmu untuk menjauh dariku menjadi hal mudah bagiku, Agar aku tak terlalu sakit. Tuhan begitu menyayangiku.

Bapak(ku)

"Jika masih ada Bapak, mungkin semuanya akan lebih mudah." Selamat malam pak, Ayu lagi kangen Bapak malam ini. Bapak apa kabar? sudah lama tidak mendengar suara canggung Bapak saat menelpon Ayu. Menanyakan hal-hal biasa yang sering Ayu anggap sebagai kekhawatiran yang terlalu. Ayu kangen pak, Saat ini Ayu sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir, ya semoga semester ini (benar-benar) menjadi semester terakhir Ayu. Bukankah Bapak selalu menanyakan ini. Ayu kangen pak, Setiap kali melihat tumpukan seragam kerja, kemeja yang tak terlipat rapi. Ayu selalu ingat kalimat yang selalu Bapak utarakan "Lihat, Bapak ini selalu rapi. Rapinya nomor satu." Dan selalu, Ayu akan berhu..hu..hu.. ria, Ayu selalu merindukan masa-masa itu. Ayu kangen pak, Kangen saat bertanya kapan Ayu pulang, sekedar memastikan bahwa semua baik. Ayu kangen pak, Selepas Bapak pergi, banyak yang berubah. Ketika semua orang berusaha memberikan senyum terbaik mereka, menenangkan, menabahkan. Ikhla

Kotak Kenangan

Terkadang yang menjadi selamanya untuk kita bukanlah yang pertama, bisa jadi dia adalah yang mengisi kekosongan kita -- @perihujan_ R inai membersihkan wajah cemong Arya, ia tertawa memamerkan sebaris gigi yang penuh dengan coklat yang melapisi choco cake yang dimakannya tadi. “Arya, berhenti merepotkan Kak Rinai dong.” Haris, mengusap punggung Arya. Arya malah cekikisan. “Hahaha, Arya mirip Dika ya Kak? Tengilnya gak nahan.” Haris mengangguk, mengiyakan. “Kak, Arya maen kesana ya?” Arya menunjuk area bermain yang ada di cafe ini. Rinai dan Haris mengangguk, tak menunggu anak berumur lima tahun itu melesat meninggalkan mereka berdua. Rinai mengaduk choco perfait nya. Hening. “Hari ini kamu benar tidak ada acara kan Rin? Kami tidak sedang mengganggu kan?” Haris bertanya. “Iya. Aku benar-benar tidak ada acara kok.” Rinai menyakinkan. Rinai berbohong, tidak mungkin ia berkata pada Haris jika demi bertemu dengannya Ia mengingkari janjinya

Fin

Pada Akhirnya. Hari ini kita memutuskan untuk berhenti. Berhenti mengatakan bahwa kita baik-baik saja. Berhenti menyembunyikan tangis demi sebuah pengertian. Berhenti menyimpan sesak demi sebuah kepura-puraan. Berhenti untuk mempertahankan, apa yang harusnya diakhiri. Berhenti untuk mencoba, bertahan pada hal yang sia-sia. Agar sesak ini tak berubah menjadi luka. Agar ngilu ini tak semakin membiru. Maka, selayaknya kita berhenti. Bukan demi sebuah alasan kedewasaan. Bukan juga demi sebuah gengsi. Mungkin aku menyerah, mungkin juga kita terlalu lelah. Dan, Kurasa Tuhan paling mengerti, mengapa kita harus berhenti. Bukankah Ia sebaik-baiknya pembuat rencana? @perihujan_ Siang itu di sebuah coffe shop . “Kita baik-baik saja kan?” Dia menunduk, entah apa yang ia cari. Aku merapatkan genggamanku, mengangguk. “Percayalah, kita baik-baik saja” Aku meyakinkan. “Ibu, Kak. Ibu tidak pernah menyetujui hubungan ini. sungguh ini tak mudah bagiku Kak.