Memories just memories
@perihujan_
“Apa kabar?”
Aku menemukan satu pesan offline
di messengerku. Pesan darimu, ragu aku membalasnya. Antara gengsi dan niat
untuk sekedar memberitahu bahwa aku baik-baik saja, meski tanpamu.
Tapi gengsiku terlalu tinggi, dan
aku memilih untuk menghapus pesan darimu.
Kamu, biarkan aku lupa.
Malang hari ini mendung, mungkin
saja hujan akan segera turun. Seminggu ini hujan setia membasuh Malang yang
kian pengap. Sepertinya ia tahu, aku perlu banyak hujan agar ngiluku segera
menghilang.
Aku mengaduk choco perfaitku.
Masih teringat sehari setelah
kita memutuskan berpisah, apa kita? Kurasa ini hanya keinginanku saja. Aku yang
lelah dengan jarak yang semakin lama semakin jauh. Malam itu kamu berkali-kali
mengatakan hal yang sama, mengapa? Ah, iya mengapa kita yang selalu tampak
baik-baik saja harus berpisah, mengapa kita yang selalu menabahkan jarak dengan
doa akhirnya menyerah? Dan entah berapa mengapa lagi yang kau utarakan. Tetapi
malam itu aku tetap memilih untuk berhenti. Aku lelah, itu saja.
Aku melihat dari sisi jendela
tempat aku menikmati Choco Perfaitku, ada dua orang yang tengah duduk
berhadapan. Sang wanita duduk menekuri handphonenya, sementara sang pria duduk
dengan tenang menikmati muffin dari piring sang wanita. Ah, betapa kita dulu
sering melakukan hal itu? Duduk berdua dalam diam. Aku yang bersandar di bahumu
dengan manja, sambil memainkan permainan dari gangetmu. Dan kamu dengan
santainya duduk dan memakan apa saja yang ada di meja, dan sesekali tanganmu
mengelus rambutku.
Sepulang kerja sering kali
kudapati kamu telah berada di depan kantorku, membawa satu tangkai mawar merah. Tertawa
lebar, dan aku akan segera menghambur ke arahmu. Dan kita akan mengelilingi
Kota Malang, menikmati macetnya tak peduli lelah seharian berkutat dengan
pekerjaan. Dan aku tak pernah melihatmu tampak lelah dengan jarak yang kamu
tempuh dari Surabaya ke Malang meski kita hanya bertemu sejenak.
Iya, dulu sebelum Malang dan
Surabaya berubah begitu sangat jauh. Dan entah sejak kapan Malang menjadi
sangat jauh dengan Surabaya, begitu juga sebaliknya. Sebelum kita berubah
begitu sibuk.
Sampai akhirnya aku menyadari,
bahwa prioritas kita telah berubah.
Malam itu, kamu yang masih
memakai kemeja lengkap berdiri di depan pintu gerbang kosku. Aku tahu kamu
lelah, wajahmu kusut. Aku pun tahu, setelah telpon yang hanya diiringi tangis
itu kamu segera meluncur ke Malang untuk menemuiku. Ingin mengetahui jawab atas
pertanyaan mengapamu.
Aku yang tak juga lebih baik
darimu, berdiri di balik pintu gerbang. Sisa tangisku masih jelas, suaraku tak
kalah paraunya.
“Maaf.”
Dan aku samar mendengarmu
berbisik, “Tapi D.”
Aku tetap berlalu darinya, tanpa
menoleh. Tak memberi kesempatan untuknya bertanya tentang alasan mengapa aku
memutuskan berhenti.
Dan semalam suntuk aku menangis,
entah apa yang kusesali yang kuketahui ada yang hilang sejak malam itu. Kamu.
Aku kembali mengaduk Choco Perfaitku.
Terkadang kita tak benar-benar
bahagia dengan apa yang menjadi pilihan kita. Bisa jadi yang tinggal dan menetap
di hatimu bukanlah pilihan hatimu. Karena hati bukan memilih tapi dipilih.
“Hei, melamun saja. Ngelamunin
mantan ya?”
Aku tersenyum, lalu mengusap
punggung tangannya.
Dia setelah Kamu. Dia yang
akhirnya menjadi tempatku berhenti.
Malang, 27 Oktober 2013.
Foto ambil di Memories
Komentar
Posting Komentar