Langsung ke konten utama

Senyum Terakhir Aira




Aku merapikan ujung kebaya putih itu. Mengusapnya pelan, aku tersenyum. Hampir tiga bulan aku menyiapkan acara ini. Mendesign kebaya putih ini sendiri, memastikan bahannya sesuai dengan yang aku inginkan. Pesta dengan konsep warna putih.
“Ra, bagus ya?” Ucap Talita, yang sejak tadi berdiri di sampingku, mengamatiku.
“Iya, sesuai dengan desain yang aku minta. Eh, kamu inginkan.” Kataku, tersenyum.
Aku mengambil sepatu dengan manik mutiara, menaruhnya di sisi tempat tidur. Seperti kebaya dan semua yang menjadi printilan dalam perayaan hari ini, kamar ini pun didesaign warna putih. Wangi melati menyeruak di hidungku.
Wangi yang aku sukai, pun dengannya.
Talita, menarik lenganku. Membimbingku agar aku duduk di sampingnya.
“Ra, terima kasih ya.”
Aku mengangguk. Mengusap punggung tangannya. “Berbahagialah.”
Berbahagialah, agar aku rela melepasnya. Agar aku benar-benar merasa baik-baik saja.
Talita memelukku. Aku mengusap punggungnya. “Maafkan aku, Ra.”
Aku mengangguk, menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak pecah. Sementara dadaku semakin sesak mendengar ucapan maaf dari Talita untuk kesekian kalinya. Kumohon, Talita berhentilah meminta maaf. Aku tidak ingin ucapan maafmu, semakin membuatku merasa menjadi wanita paling nelangsa di hari ini.
Aku ingin terlihat bahagia, sama sepertimu.
“Sudah, ayo segera ganti pakaianmu. Satu jam lagi acaranya dimulai.”
Talita mengangguk. Dibantu perias, yang juga sesuai rekomendasiku Talita mengganti pakaiannya dengan kebaya yang sejak tadi kuperhatikan. Sepuluh menit kemudian, Talita berdiri di hadapanku. Cantik, kebaya itu pun pas ia kenakan. Dia menarik napas panjang.
“Aku gugup sekali.”
Aku tertawa. “Hal yang biasa itu.”
Aku mendekat ke arahnya, lalu mengeluarkan handphoneku. “Sini, selfie dulu denganku. Biar hilang gugupnya.” Kataku, disambut gelak tawa perias dan beberapa timnya.
Talita mencubit pinggangku. Aku tertawa. Sementara dadaku sudah tidak sanggup menahan degup ngilu menahan sesak. Semakin aku memaksa terlihat baik-baik saja, semakin aku nelangsa. Berkali-kali aku menghapus air mata yang kurang ajar menetes. Dan aku sekuat tenaga menyembunyikan di hadapan Talita.
 Aku melihat bayangan Talita dari cermin pada nakas yang berada di kamar ini. Cantik. Semua laik-laki pasti menyetujuinya. Talita adalah wanita cantik, lembut, dan dia adalah sosok wanita yang menawan. Dia selalu memperhatikan hal detail, dia tahu bagaimana cara membahagiakan seorang lelaki. Dan yang semakin membuatku berbeda dengannya adalah dia tidak keras kepala sepertiku.
Aku tersenyum saat menyadari Talita yang tersenyum ke arahku dari bayangan cermin. Aku memalingkan wajah, tidak berani terlalu lama mentap wajahnya. Setiap kali melihat Talita, rasanya ada beberapa pisau yang menusuk ulu hatiku bersamaan. Ngilu.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Wajahnya muncul dari balik pintu, Denia salah satu sepupuku berbisik. Acara akan segera dimulai, dan meminta Talita untuk segera keluar. Undangan sudah berkumpul.
Aku membimbing Talita, tangannya mengapit aku erat. Dingin. Aku tahu dia gugup. Tapi tahukah semua orang di sini aku tidak kalah gugupnya dengan Talita malam ini?
Menerima kenyataan lelaki yang dipilih oleh sepupumu yang begitu kamu sayangi adalah lelaki yang kamu cintai. Lelaki yang pernah mencoba untuk berjuang bersamamu. Lelaki yang memiliki mimpi yang sama denganmu. Jangan pernah membayangkan hal ini. Cukup aku yang mengalami kekacauan ini.
Aku mengantar Talita hingga di ruang tengah. Aku melihatnya duduk di antara para tamu undangan. Aku tidak berani menatap matanya. Ia melihat ke arah Talita. Aku berusaha untuk tersenyum. Talita duduk disampingnya, sementara aku duduk di belakang mereka.
Dia menoleh ke arahku. Aku berusaha untuk tersenyum.
Aku menatap punggung kedua pasangan tersebut. Lie dan Talita. Suara Lie mengucap akad terdengar nyaring dan tegas. Apakah kamu begitu yakin dengan pilihanmu? Lie apakah kamu benar-benar bahagia?
Semua mebucap syukur, saat kata sah diucapkan penghulu. Semua dalam ruangan ini berdoa, mendoakan pasangan baru ini. Aku melihat Talita mencium punggung tangan Lie. Semua tersenyum lega.
Aku berusaha tersenyum. Lie, mendekat ke arahku. “Terima kasih, Me.”
Di ruangan ini tidak adakah yang ingin bertanya bagaimana perasaanku?

Malang, 20 Maret 2016.

Saat merelakanmu adalah sesuatu yang sedang aku usahakan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun

Sebelum Menikah Pastikan Kamu Sanggup Meminta Maaf

Pernikahan/copyright pexels.com Apa tanda kamu sudah siap menikah? Saat kamu sudah sanggup meminta maaf untuk hal yang sepele. Saat kamu sanggup meminta maaf untuk hal yang sebenarnya tidak kamu lakukan. Saat kamu merendahkan egomu lalu meminta maaf. Well, tema pernikahan sepertinya lagi hangat diperbincangkan. Adalah teman saya chatnya muncul di tengah malam. Katanya, sibuk gak? Hmm, firasat tidak enak mungkin firasat diprospek MLM cukup membuat saya merasa tidak nyaman saat harus menerima chat dari teman lama. Ternyata malam itu, teman saya sedang butuh telinga. Ia ingin curhat. Perbincangan yang awalnya lewat chat whatsapp berlanjut ke telpon. Ia menelpon lama sekali, awal saya mendengar suaranya cukup jelas namun lama-lama berubah serak. Ia menangis. Ia menangisi mantannya yang besok kabarnya akan menikah. Hmm, ya kalau sudahjadi mantan kenapa menangis? Usut punya usut, ternyata hubungan mereka belum selesai. Ada masalah yang menggantung. Ya, meskipun saya melihatn

Hari Bersama Sheila On 7, Pengalaman Pertama Nonton Konser

Tanggal 22 September 2016 adalah hari bersejarah buat saya. Bukan, saya tidak mendapat promosi jabatan atau Partner akhirnya melamar saya. Tapi pada tanggal tersebut saya berkesempatan untuk nonton konser. Yeay! Umur yang hampir menginjak angka 30, baru kali ini saya menonton konser. Hahaha. Norak? Iya, biarin. Yeay..foto dulu sebelum nonton konser | c: @perihujan_ Berawal dari rasa kecewa karena batal ke Jakarta, akhirnya saya menerima ajakan teman untuk nonton konser Sheila On 7 di Graha Cakrawala UM pada tanggal 22 September kemarin. Saya datang ke konser tanpa ekspektasi apa pun. Hanya saja sepanjang hari, di kantor saya memutar lagu-lagu Sheila On 7 sekedar mengingat lagu-lagu mereka kembali. Yeah, saya memang agak buruk soal musik. Selain suara sumbang saya, enggak ada yang dapat saya banggakan dari pengetahuan musik saya. Jika menurut jadwal acara, Sheila On 7 seharusnya mulai naik panggung pukul 9 malam. Tapi nyatanya hingga hampir pukul 10 malam, Duta dan g