Langsung ke konten utama

Postingan

It's Ok

2019 sudah hampir berakhir. Rasanya baru kemarin menulis deretan resolusi yang berulang tiap tahunnya. Menulis keinginan dan apa saja yang ingin kulakukan. Sebagian berhasil tercentang, dan tak sedikit yang mugkin akan kutulis di malam pergantian tahun 2020 nanti. It's, ok. Hal ini bukan sesuatu yang buruk kok, meskipun masih ada rasa 'njangget' di hati. Tahun lalu menulis jika 2019 ini pengen lebih "tega" sedikit, enggak terlalu memikirkan apa kata orang dan membuang jauh rasa "enggak enakan" sama hal yang gak mendatangkan manfaat. Rasanya udah capek dimanfaatin terus, rasanya sudah muak dengan "menjaga perasaan" tapi yang dijagain enggak ngerasa. Tapi, ketika ingin memulai perasaan enggak enak itu muncul lagi. Masak sih, cuek ini yang bikin aku bahagia? 2019 mungkin aku terlalu perhitungan, enggak los. Jadi merasa apa yang aku lakukan dan jika berakhir timpang merasa dunia tidak adil. Mungkin, aku sudah lupa jika yang namanya adil itu ...

Jeda

Kita akan baik-baik saja kan? Pertanyaan itu yang selalu kurapal sepanjang perjalanan dari rumahnya hingga Bandara, sore itu. Ia tersenyum ke arahku. Lalu mengusap rambutku pelan. "Tentu saja, kita akan selalu baik-baik saja. Selama ada kita, tak ada yang perlu kamu takutkan, Hon." Aku tersenyum, berusaha tenang dengan kata-katanya barusan. Aku mencintai Bandara, sekaligus membenci tempat ini. Mengantarnya ke Bandara artinya aku harus bersabar dengan pertemuan selanjutnya yang mungkin 2 atau 3 bulan lagi. "Kamu takut?" Tanyanya. Aku tak menjawab, hanya merapatkan tubuhku padanya. Dia menenggelamkan kepalaku di dadanya, hingga aku mendengar degup jantungnya dengan jelas. Dan, ah aku akan selalu merindukan wangi ini. Sore itu aku tidak merasa biasa, dia tampak berbeda. Dan aku merasa tidak nyaman dengan suasana Bandara. "Baik-baik di sana," kataku, dan tanganku memegangi ujung bajunya. Dia tertawa. "Tentu saja. Kamu juga, ...

Rendezveus

Ki, kamu itu teman kesayangan. Ki, nanti Angga ngajak aku nonton. Ki, temenin ngobrol ya. Ki, aku kesel sama temen kantorku. Ki, ke Jogja yuk? Ki, aku bete...makan enak yuk? Ki, kangen. Ki, aku pengen curhat. Ki, aku bosan. Makan yuk? Ki, ini lucu enggak? Ki, Angga nembak aku. Ki, aku menerima Angga. Dan tak ada lagi panggilan darinya. Puncaknya adalah saat kami mengobrol di Houtend Hand menjelang akhir tahun di tahun 2014. “Dis, aku enggak pernah menganggapmu seorang teman. Aku mencintaimu.” Dan sejak itu, Disty tak lagi sama memandangku. “Aku kecewa sama kamu, Ki.” Disty meninggalkanku, dan Chocorado yang belum sempat ia minum pun dingin.

Tentang Masa Lalu

Karena yang pergi belum tentu ingin kembali. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya panik mencari kunci rumahnya. Kunci dengan gantungan dari kain flanel berbentuk Dinosaurus. Melihatnya berkeliling di area parkir Gramedia Basuki Rahmad, mencari kunci rumahnya. Aku mendekatinya. “Kamu mencari ini?” kataku menyodorkan kunci dengan gantungan kunci berbentuk Dinosaurus. Ia yang duduk jongkok, mendongak ke arahku. Matanya berbinar, bahagia. “Iya! Kok tahu? Ketemu di mana? Aaak...makasih ya.” Aku tersenyum, “Tadi kamu menjatuhkannya di sini, aku sengaja menunggumu di sini. Hehehe.” “Oh,” “Rizky,” kataku, mengulurkan tangan ke arahnya. Ia memandang tanganku, “Disty,” sambutnya. Setelah ia menyambut uluran tanganku, ia pamit. Mungkin merasa aneh begitu ia tahu aku sengaja menunggunya kembali ke area parkir untuk mencari kunci alih-alih memanggilnya. Aku memandang punggungnya menjauh, aku melihatnya berjalan ke arah warung waralaba milik Rona...

Pulang

Malang, Januari 2018 Kembali ke kota ini mungkin hal yang tidak pernah aku bayangkan. Sempat terpikir mungkin hanya kebetulan yang akan membawaku kembali ke Malang, setelah kejadian tidak menyenangkan bersama Disty. Ketika akhirnya aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam. “Ki, tanggal 5 besok kamu berangkat ke Malang ya? Stay di sana selama 2 bulan. Ada yang tidak beres dengan laporan Adit.” Ucap atasanku dari sambungan telpon yang aku terima di malam pergantian tahun. “Ok,” sanggupku. Maka di sinilah aku, kembali ke Malang. Kota yang selama 3 tahun ini sangat kuhindari tapi sekaligus kurindukan. Aku menutup laptopku, melepas kacamata dan memijat pelipisku pelan. Aku beralih  ke balkon kantorku saat ini. Ruanganku terhubung langsung dengan balkon yang menghadap ke arah jalan. Dari sini aku dapat melihat Jalan Wilis. Jalan yang biasa aku lalui saat akan berkunjung ke rumah Disty. Dis, aku kangen kamu. Seharusnya aku bisa menghubungi Disty sekarang. En...

Awal Mula

31 Desember 2017 Obat patah hati adalah kesibukan. Maka, dari ketinggian 27 kantorku aku melihat kembang api menghias terang langit di malam tahun baru ini. Sejak tadi pagi aku tak melepaskan pandanganku dari deretan angka-angka yang ada pada layar laptopku. Sesuatu yang biasa kulalui sepanjang hari selama tiga tahun ini. Mungkin agak berbeda di malam ini. Malam ini adalah pergantian tahun ketika semua orang asyik dengan acara malam pergantian tahun aku malah berdiam dengan angka-angka. Seharusnya aku menerima tawaran beberapa teman untuk menghabiskan malam pergantian tahun ini. Larut dalam tawa semu mungkin akan membuatku merasa baik-baik saja. Sedikit saja. Melupan hal gila yang aku lalui beberapa tahun ini. “Happy New Year, Mbul.. “ ucapku pelan. Dan aku merasa sangat sepi meski kembang api semakin ramai menghias langit malam ini. ... Di teras rumahnya, Disty melihat deretan angka pada layar handphonenya. Nomor telpon yang tak akan pernah ia lupakan. Ragu ia menekan to...

Review Kura-Kura Berjanggut, Menilik Perjalanan Merica

Sudah lama saya tidak menyelesaikan buku dengan semangat. Saya membaca Kura-Kura Berjanggut tanpa ekspektasi, hanya berbekal jika buku ini memenangkan salah satu kategori bergengsi di Kusala Sastra Khatulistiwa. Jadi mari mereview buku setebal 900 halaman lebih ini. Porsi terbesar novel ini bercerita tentang perang antara istana Lamuri melawan kongsi dagang Ikan Pari Itam. Perseteruan negara versus korporasi internasional ini berlangsung di seputar perebutan monopoli perdagangan merica. Azhari Aiyub membagi dua fase perseteruan ini, menjadi perseteruan Ikan Pari Itam dan Sultan Maliksyah. Untuk naik jabatan Sultan Maliksyah, ayah dari Anak Haram ini melalui pergolakan dan sedikit tipu muslihat. Tidak hanya itu Sultan Nurruddin alias Anak Haram naik takhta, juga lewat serangkaian pembantaian, termasuk pembersihan terhadap keluarga istana yang telah memenjarakannya dan orang-orang kongsi dagang Ikan Pari Itam berikut keluarga mereka. Mengikuti perjalanan si Anak Haram...