Aku melangkahkan kaki ke kedai
yang bangunanya bernuansa putih itu, Omah Caffee. Beberapa bulan yang lalu, aku
sering kesini. Setiap malam minggu, kamu akan mengajakku duduk dan bercerita
apa saja di sini. Terkadang, saat kamu menjemputku pulang kerja pun mengajakku
bersantai sejenak sebelum aku pulang ke kos.
Itu dulu, sebelum semua berubah.
Aku memegang ujung tasku. Sangsi, apakah aku
serius akan masuk ke Omah Caffee. Aku melihat mobilmu terparkir di halaman Omah
Caffee. Kamu sendirian kah? Atau bersama Bili dan Joice? Atau bersama yang
lain.
Aku membalikkan badan berniat
berlalu dari tempat itu. Namun urung, aku memilih berjalan ke arah Outlet Omah
Mode yang letaknya bersebelahan dengan Omah Caffee. Outlet distro ini nampak
lengang padahal hari ini minggu.
Aku menyisir beberapa deret
koleksi baju yang di pajang di Outlet ini. Mataku tertegun saat melihat satu
kaos berwarna merah itu. Merah, adalah warna favoritemu. Warna yang kau bilang
sebagai penanda kobaran semangat. Yang katamu dulu adalah warna yang serupa
denganmu yang selalu dipenuhi semangat yang membuncah untuk mempertahankan apa
yang akan membuatmu bahagia.
Tapi mengapa kamu tak pernah
semangat untuk mempertahankanku? Apakah itu berarti aku tak pernah membuatmu
bahagia? Adakah yang salah dengan hubungan kita.
Aku menghela nafas.
Mengingat malam terakhir kita
bertemu. Pembicaraan kita yang lebih banyak berisi tentang kekecewaan, dan
helaan nafas. Mengapa semua ini harus terjadi di saat kita telah melangkah
begitu jauh. Di saat kita telah menyepakati tentang mimpi-mimpi kita tentang
kehidupan setelah kita telah disahkan oleh agama maupun pemerintah.
Mengapa kita baru menyadari bahwa
kita tak pernah sama, bahwa kita berbeda setelah dua tahun kita saling
menautkan hati. Dan mengapa kita baru menyadari bahwa kita selalu meragu dengan
apa yang akan kita hadapi nanti.
Aku yang hanya seorang Kartika,
gadis jawa. Tak mungkin bisa bersamamu Lie, kamu yang seorang Tiong Hoa.
Aku buru-buru mengusap mataku
yang mulai mengembun. Terlalu banyak tapi, saat aku dan Lie untuk memutuskan
bersama. Dan terlalu menyakitkan saat aku harus memilih mengakhiri kisahku
bersama Lie.
Aku melihat dari jendela, mobil
Lie masih terparkir di halaman Omah Caffee.
Ah, seharusnya di senja yang
mulai menguning ini aku duduk di kursi biasa kami duduk. Kursi yang berada di
pojok Omah Coffee, kursi favorite kita. Aku akan memesan Honeydew Tea dengan sedikit
es batu dan Strawberry Toast dengan taburan keju dan cokelat bubuk. Kamu akan
mengaduk-aduk Honeydew Tea ku mengambil es batu, dan mengunyahnya. Yang sering
kali ku protes, mengingatkan kesehatan giginya. Perdebatan kecil yang membuatku
menggembungkan pipiku dan kamu akan mengusap rambutku menenangkan. Hal
sederhana yang selalu membuatku luluh padamu.
Aku keluar dari Omah Mode,
langkahku mantab menuju ke Omah Caffee. Aku kesini bukan untuk menemui Lie, aku
hanya ingin menikmati Honeydew Tea dan Strawberry Toast kegemaranku. Aku kesini
bukan untuk Lie, rapalku.
Langkahku terhenti saat aku
membuka pintu Omah Caffee. Aku melihatmu dengan wanita itu. Wanita itu duduk di
depanmu, dan aku melihatnya meminum Honeydew Tea kegemaranku.
Wanita, yang selalu ada setiap
kali aku dan Lie berkunjung di tempat ini. Wanita yang sering kali kulihat,
memperhatikanmu dan seakan tak pernah mau melepas setiap gerakanmu. Wanita yang
sering muncul dalam pikiranku. Wanita yang sering kukhawatirkan akan membawamu
berlalu dariku.
Lie.
Tubuhku lemas, dan yang kutahu
hanya gelap saat itu.
Malang, 20 Oktober 2014.
Komentar
Posting Komentar