Sampai kau berdamai dengan dirimu, kau baru mampu berdamai dengan
perasaanmu – Tia Setiawati Priatna.
Aku menghempaskan tubuhku pada
sofa. Lelah.
Hari ini adalah malam keduaku di
Jakarta, setelah dua tahun lalu aku meninggalkannya. Aku menarik selembar foto
dari saku celanaku. Fotoku bersama Kayla dan Melia, yang diambil dari polaroid
instax mini – mainan baru Kayla, oleh
Ailya saat kami bertemu tadi.
Aku tak bisa menahan diri untuk
tersenyum saat melihat ekspresi Kayla. Ah, bidadariku telah tumbuh menjadi
gadis kecil yang mempesona. Saat tanganku menyentuh foto tersebut, tanganku
berhenti pada paras Melia. Ada yang menderu, apakah masih pantas aku
merindukannya?
Saat pertemuan tadi pun aku tak
kuasa untuk mencuri-curi pandang. Melia selalu saja seperti itu, tak mau
terlihat rapuh. Selalu ingin terlihat kuat dan bersemangat. Aku tersenyum kecil
mengingat kejadian saat makan malam tadi saat dia gugup mengambilkan aku nasi
dan lauk saat makan malam tadi, ya seperti yang selalu ia lakukan dulu saat
kami masih bersama.
Dulu.
Sepertinya pertemuan tadi telah
membuatku larut dalam uforia pesta kenangan. Ya, Melia hanya bagian dari masa
laluku. Semanis apapun itu, bukankah aku tak mungkin kembali padanya? Aku telah
menentukan pilihan, untuk memulai segalanya dari awal bersama Ailya.
Ailya, gadis yang manis. Aku
mencintainya, menyukai caranya mencintaiku. Rasanya baru kemarin siang aku
bertemu dengannya di acara konverensi ASEAN di Kuala Lumpur setahun yang lalu.
Pertemuan yang merubah segala kehidupanku. Gadis itu telah memberiku
kesempatan.
Semoga pertemuan kecil tadi tidak
membuatnya meragu, semoga pertemuannya dengan masa laluku memberikannya
kekuatan untuk lebih mencintaiku. Ah, egoisnya aku. Apakah aku pernah berpikir
tentang perasaannya?
Bukankah Ailya tampak baik-baik
saja saat di pertemuan tadi, bercanda dengan Kayla. Bahkan tadi Ia menemani
Kayla bermain? Apa ada yang salah dengan intuisiku?
Handphoneku bergetar, ada satu
pesan masuk.
“ Sudah sampai rumah? Aku tidak bisa tidur “
Aku membaca pesan pendek dari
Ailya. Aku menekan tombol dial, menelpon Ailya.
“ Hallo “
“ Baru saja aku ingin menelponmu,
aku sudah sampai setengah jam lalu. Kenapa gak bisa tidur De’ ? “ tanyaku.
“ Gak papa, mungkin kecapean saja
“ jawabmu.
Ailya lupa, aku tahu gak papanya
dia berarti ada apa-apa.
“ Kamu kepikiran soal tadi? “
Kamu tak menjawab.
“ Maaf ya De’ seharusnya aku tak
secepat ini mengambil sikap, seharusnya aku meminta pendapatmu setuju atau
tidak untuk bertemu Kayla dan Melia “ ujarku menyesal.
“ Maaf...”
“ Kenapa minta maaf? “ tanyaku
khawatir.
“ Seharusnya aku tidak boleh
seperti ini. Hmm, sudahlah aku tidak apa-apa kak. Istirahatlah, bukankah besok
ada meeting pagi. Besok tidak perlu menjemputku. Kakak istirahat ya, aku juga
sudah mulai mengantuk “ Katamu cepat.
“ Baiklah. Selamat memejam ya De.
“
“ Iya, makasih kak “
Lalu, klik. Call ended.
Aku melihat layar handphoneku.
Apakah ini berarti luka?
***
Pukul 23.30, di depan pintu sebuah apartemen.
Aku mengetuk pintu itu pelan,
berharap sang pemilik apartemen akan membukakan pintu itu untukku. Lima menit
menunggu belum juga ada tanda-tanda pintu akan di buka. Akhirnya dengan sedikit
kecewa aku mengetuk pintu itu lagi, dan sebelum tanganku sampai menyentuh pintu
itu pun sudah terbuka.
Ada kamu dengan piyama tidurmu, sudut matamu yang menyisakan
tangis dan rambut yang kamu ikat sembarangan. Tapi sama sekali tak mengurangi
kecantikanmu.
Aku menghambur ke arahmu,
memelukmu. Tanpa membiarkan kamu berucap apa-apa.
“ Aku mencintaimu De’ “ ucapku dan memelukmu semakin erat.
“ Aku juga, kak...sangat mencintaimu “ dan balas memelukku.
Tak ada kata yang
lebih indah dari sebuah kata saling mencintai.
Pic : Tody Pramantha
Sajak di kutip dari tumblr Tia Setiawati Priatna
Komentar
Posting Komentar