Aku merefresh
contact yang ada pada contact list WhatsAppku. Ada namanya pada urutan teratas,
dan aku membaca status yang ditulisnya.
“Bukan kita yang
berubah, hanya kita yang telah merubah prioritas.”
Apa dia sedang
menyindirku?
Sejak aku
memutuskan memulai membuka hati, dan menerima ajakan Fania untuk kembali. Aku dan
dia tak lagi seperti dulu, tak ada lagi obrolan tak penting disela waktu
istirahatku. Saat aku tak lagi penat dengan segudang pekerjaan chatting darinya
tak lagi menjadi rutinitas, voice note darinya tak lagi memenuhi folderku.
Sekarang aku
disibukkan bagaimana membuat Fania tetap bertahan disisiku, bagaimana aku tetap
mengokohkan hati agar tak runtuh oleh jarak yang ada diantara aku dan Fania.
Kita berubah.
Aku mengetik satu
pesan untuknya, berulang kali tetapi aku urungkan. Aku ketik, baca kemudian
kudelete. Berulang kali. Takut. Bukankah dia telah memilih hati yang lain? Bukankah
dia akan baik-baik saja? Aku tak ingin mengganggunya dengan sapaan tak
pentingku. Bagaimana jika pesanku terbaca oleh lelakinya? Aku tak mau merepotkannya.
Meski saat dia mengaku telah memiliki pasangan bersamaan dengan kembaliku
bersama Fania. Meski ia berujar aku tak pernah disembunyikan dari lelakinya. Hanya
saja sudut hatiku kosong saat mendengar pengakuannya. Bahwa ia tak pernah
sendiri, hatinya telah termiliki.
Aku membuka akun
twitternya. Membaca semua kicauannya. Hei, lihatlah bukankah dia baik-baik
saja? Meski tanpa aku? Kembali aku berasumsi.
Dan entah mengapa
aku semakin merindukannya.
Aku kembali
membuka sisa obrolan kami di whatsApp dua bulan lalu. Ah, sudah selama ini kami
tak saling menyapa, saling mendiamkan. Kamu, mengapa aku merasa kau asingkan?
“Teman kesayangan
gak akan saling menyakiti. Iya kan?” tulismu waktu itu.
Kujawab dengan
satu emot senyum, “Tentu saja.”
“Kamu tahu,
mengapa kamu aku sebut kesayangan? Karena aku tahu yang namanya kesayangan gak
akan menyakiti. Ia akan tetap ada walaupun keadaan berubah. Kamu selalu
istimewa Ra.”
Dan kembali aku
hanya membalasnya dengan emot senyum.
Tapi kini mengapa
aku merasa kita saling menyakiti? Di saat aku memilih untuk bersama Fania, kamu
pun menghilang. Hei, seharusnya kamu
bahagia dengan pilihanku kan?
Monologku, dan
aku semakin kacau.
Kembali aku
membuka akun twitternya berharap menemukan satu atau dua obrolannya bersama
lelakinya, mungkin ini semua akan membuatku merasa baik-baik saja. Meski aku
tahu ini tak akan pernah merubah keadaan. Kumohon jangan membuatku berasumsi
jika kamu menghindariku.
Aku berniat
melempar handphoneku, tetapi kuurungkan saat aku mendengar satu notifikasi
pesan dari whatsapp. Dengan cepat aku buka, hei itu kamu.
“ Hai..”
Dan entah mengapa
aku tak perlu menunggu lama untuk membalas pesan darimu.
Pasuruan, 5 Januari
2014.
pic dari : google.com
Wow, galau sekali mood cerita ini ya mbak? Menarik :)
BalasHapusHehehe, makasih mas idan udah mampir :3
Hapus