Langsung ke konten utama

Hatiku memilih (Ailya)





Ibu ijinkan putri kecilmu ini bercerita.
Ibu inikah cinta yang sama seperti yang kau rasakan pada ayah? Inikah makna cinta sebenarnya?
Ketika air mata banyak mendominasi perjalananku dengannya, dengan lelaki yang kunamai cinta.
Ketika beribu orang memandangku picik saat bersamanya.
Ketika ada beribu tanda tanya yang sering muncul saat aku bersamanya.
Ibu, inikah cinta yang sama seperti yang kau rasakan kepada ayah?
Ketika aku adalah yang kesekian kali baginya.
Ketika aku adalah wanita setelah kegagalannya.
Ketika semesta meragu akan rasaku padanya.
Ibu, inikah cinta yang sama seperti yang kau rasakan kepada ayah?
Ketika aku tak mampu menyembunyikan wajah memerahku karena pesonanya.
Ketika aku berpura-pura tak mendengar tentang apa yang banyak orang bicarakan dibelakangku, saat aku bersamanya.
Ketika aku acuh dengan segala kekurangannya.
Ibu, inikah cinta yang sama seperti yang kau rasakan kepada ayah?
Ketika aku tak lagi sanggup berjeda dengannya.
Ketika ia adalah sesak yang selalu kurindukan.
Ketika doaku adalah namanya.
Ibu, aku mencintainya.
----Ailya


Aku mengusap punggung tangan ibu yang telah dipenuhi keriputan, lalu menariknya agar mengusap wajahku. Aku rindu ingin dimanja. Menciumi aroma yang selalu kurindukan, Ibu.
Hari ini hari kedua aku pulang ke rumah. Menemui Ibu, dan berencana untuk menceritakan tentang Kakak kepada Ibu. Menceritakan keragu-raguan yang tengah menyergapku.
“Ada apa Ailya? Kamu sedang bersedih?” tanya ibu lembut, lalu menarik kepalaku ke pangkuannya. Ada bulir air mata memaksa keluar, yang cepat-cepat kuhapus. Aku tak ingin ibu melihatku menangis.
Aku menggeleng. Sebenarnya tanpa aku bercerita pun Ibu tahu kalau aku sedang memendam satu masalah. Sejak aku pulang, ibu berkali-kali menegurku yang terlampau sering melamun.
Ibu mengusap kepalaku lembut, “Cinta bukan tentang suka atau tak suka. Cinta juga bukan tentang ingin dan tak ingin. Cinta itu memahami”
Aku masih terdiam, menahan air mata yang semakin sesak memaksa keluar.
“Cinta akan tahu kemana ia kembali, kemana ia harus tinggal”
“Bu...” ucapku bergetar.
“Hmmm..”
“Aku mencintainya..” akhirnya roboh juga pertahananku, aku terisak.
Ibu masih mengusap kepalaku lembut dan kini merengkuh menenangkan tangisku.
“Ibu tahu itu”
Ibu, mengangkat wajahku. Mengusap air mataku. Lalu tersenyum hangat, menenangkan.
“Ailya, jodoh itu urusan Tuhan. Tak ada yang pernah tahu jodoh kita. Bukan tanpa sebab Tuhan mempertemukanmu dengan Rudi. Ailya cinta dengannya? Ailya bahagia dengannya? Itu lebih dari cukup untuk Ibu”
“Tapi..ada Kayla..”aku tercekat mengingat Kayla, mengingat status kakak. Ia bukanlah sosok single yang menjadi impian seorang Ibu. Ia memiliki masa lalu, bernama kegagalan. Aku semakin terisak.
“Tak masalah bagi Ibu, menambah satu cucu yang bukan lahir dari rahimmu”
Aku terisak, memeluk Ibu erat.
“Menikahlah, ibu berbahagia untukmu...”


pic diambil dari google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...

Hari Bersama Sheila On 7, Pengalaman Pertama Nonton Konser

Tanggal 22 September 2016 adalah hari bersejarah buat saya. Bukan, saya tidak mendapat promosi jabatan atau Partner akhirnya melamar saya. Tapi pada tanggal tersebut saya berkesempatan untuk nonton konser. Yeay! Umur yang hampir menginjak angka 30, baru kali ini saya menonton konser. Hahaha. Norak? Iya, biarin. Yeay..foto dulu sebelum nonton konser | c: @perihujan_ Berawal dari rasa kecewa karena batal ke Jakarta, akhirnya saya menerima ajakan teman untuk nonton konser Sheila On 7 di Graha Cakrawala UM pada tanggal 22 September kemarin. Saya datang ke konser tanpa ekspektasi apa pun. Hanya saja sepanjang hari, di kantor saya memutar lagu-lagu Sheila On 7 sekedar mengingat lagu-lagu mereka kembali. Yeah, saya memang agak buruk soal musik. Selain suara sumbang saya, enggak ada yang dapat saya banggakan dari pengetahuan musik saya. Jika menurut jadwal acara, Sheila On 7 seharusnya mulai naik panggung pukul 9 malam. Tapi nyatanya hingga hampir pukul 10 malam, Duta dan g...

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...