Kamu berubah.
Masak sih?
Iya...
Itu adalah penggalan obrolan saya dengan seorang teman lama, jika memang bisa dibilang seperti itu. Kami sudah mengenal sejak lama, saya sempat menyimpan rasa padanya. Karena sadar diri, waktu itu saya memilih mundur.
Dulu dia mengenal saya sebagai seorang yang pendiam, kutu buku, jauh dari kata gaul, dan tomboy. Mungkin sederet alasan itu yang membuatnya sulit untuk mengetahui dan membaca perasaan saya. Dan entah sekarang saya bersyukur dia tidak pernah menyadari itu. Akhirnya, saya hanya menjadi teman baiknya, teman diskusinya, tentang cinta dan citanya.
Saya? Tetap sebagai si cewek kurang gaul, karena yang ia tahu teman saya ya itu-itu saja. Sama sekali tidak populer. Jauh dari kriteria cewek yang pantas untuk diajak sebagai pendamping wisuda. Hehehe, bukankah pencapaian pacaran jaman kuliah sampai itu saja? *kemudian dirajam*
Sampai kemarin kita reuni kecil-kecilan, saat dia dinas ke kota ini. Dia melihat saya yang sekarang, dia berkata saya berubah. Meski saya sama sekali tidak pernah tahu apa yang berubah dari saya. Saya masih suka tertawa ngakak di depannya, makan banyak tanpa malu, tetap memanggilnya dengan sebutan 'Dudul' seperti dulu, masih terlihat jauh dari kata gaul menurut seleranya. Tetapi tetap mengatakan bahwa saya berubah.
Mungkin benar saya berubah, tak lagi menganggapnya istimewa. Saya tak merasa berdebar-debar saat melihat dia tersenyum, pun tak begitu terpesona dengan kacamata frameless nya. Perasaan saya padanya berubah.
Ternyata benar jarak dan waktu dapat merubah seseorang, pun dengan hati.
Malang, 16 November 2015.
Menulis untuk jiwa/copyright rawpixel.com Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...
Komentar
Posting Komentar