Aku selalu menyukai aroma hujan;
maka aku berniat mengemasnya dalam botol kaca ini. Botol kaca yang seminggu
lalu masih penuh dengan selai coklat kacang kegemaranmu; dan boleh aku masih
menyebutnya sebagai kegemaran kita?
Katamu hujan adalah kenangan
tentangku, sebenarnya salah. Hujan adalah tentang kamu, yang kucintai tapi tak
pernah sanggup aku miliki. Nyaliku sebesar biji sawi, kecil untuk sekedar
mengucap bahwa aku pun mencintaimu sama besar atau mungkin lebih besar daripada
cinta yang kamu berikan padaku.
Aku menggenggam botol kaca ini,
memandangnya dengan tatapan dalam seakan aku melihat deretan drama satu babak
yang menceritakan tentang kita. Bukan kita tetapi kamu. Selai coklat kacang
yang dioleskan di selembar roti tawar dan satu cangkir kopi tanpa gula, adalah
menu sarapan favoritemu. Pagimu tak pernah lewat dari menu itu. Dan tentu saja
ada aku yang bercerita tentang banyak hal menemanimu di sudut pantri. Rutinitas
pagi, yang oleh mereka sebut sebagai kencan. Aku tak pernah peduli, pun kamu.
Kita tak perlu menyepakati banyak hal, mungkin ini yang dibilang cocok.
Aku meletakkan botol kaca itu,
memandang ke arah jendela. Sepertinya angin turut serta di hujan sore kali ini,
airnya tampias di kaca dan membuatnya mengembun. Tanganku reflek menuliskan
namamu, dan sunyi sukses membuat bulir bening menetes dari mataku.
“Kamu tahu, ada tiga keajaiban
tentang hujan.”Katamu, saat aku menemanimu menikamati roti selai coklat kacang
kegemaranmu. Rutinitas entah yang keberapa.
“Apa?”
“Pertama, ketika hujan pertama
menetes tepat di hidungmu itu artinya orang yang kamu rindukan juga
merindukanmu. Kedua, hujan adalah nyayian orang yang merindu. Dan yang ketiga
keajaiban yang paling luar biasa...” kamu memelankan suaramu, lalu mendekat ke
telingaku;
“Hujan dapat memunculkan orang
yang kita cintai.”
Aku menutup mulutku, kaget. Dan
kamu tersenyum.
Aku melihat ke arah jendela,
jalanan di depan kafe ini sudah tak lagi tampak; hanya putih. Aku menyipitkan
mataku, memastikan yang kulihat tak salah. Ada kamu berdiri di seberang jalan,
kepalamu ditutup dengan tudung jaketmu. Selalu saja, tak pernah memakai payung.
Oh, sepertinya aku melupakan satu hal, katamu hujan deras adalah waktu terbaik
untuk bermain-main dengan hujan. Kurasa itu alasanmu berdiri di sana, hujan
deras dan tanpa payung.
Aku berdiri, meninggalkan kafe
ini. Sebelumnya aku meniggalkan selembar uang seratus ribuan di meja tempat aku
menghabiskan waktu tiga jam. Aku keluar dari Kafe. Hujan menerpa sebagian
tubuhku, aku melihatmu tersenyum. Melambaikan tangan, lalu melepas tudung
jaketmu. Sekarang aku dapat melihat wajahmu. Aku tahu kamu sedang menantangku
untuk bermain-main dengan hujan.
Aku meletakkan botol kaca bekas
selai coklat kacang kegemaranmu di sisi jalan, aku merentangkan tanganku. Aku
menengadahkan wajah, hujan menusuk-nusuk wajahku. Aku tertawa. Aku melihatmu
pun melakukan hal yang sama, tertawa dan berputar-putar di tengah jalan yang
memang sepi. Aku berjalan ke arahmu, berniat menggapai tanganmu. Aku ingin
menari bersamamu, atau lebih tepatnya memelukmu di hujan yang lebat ini.
Hingga sesuatu menabrakku,
tubuhku terpental dan aku melihat bayanganmu menjauh. Samar aku mendengarmu
berkata;
“Kita lanjutkan nanti.”
Aku mengangguk, setuju. Ah,
seharusnya kamu pun tahu banyak hal yang kita sepakati tanpa perlu diucapkan.
Aku samar mendengar, orang
menjerit. Teriakan minta tolong dan derap langkah yang mendekatiku,
mengurumuniku. Mereka semakin ramai memanggilku. Dan aku merasa gelap.
“Apa itu berarti aku mencintaimu?
Aku melihatmu saat hujan.” Tanyaku.
Kamu mengangguk, lalu meraih
tanganku dan menuntunku untuk meninggalkan tubuhku yang dikerumuni banyak
orang.
Malang, 25 Februari 2015.
Komentar
Posting Komentar