Ketika
otakku terlalu bodoh untuk sekedar lupa bahwa aku dan kamu tak lagi kita
@perihujan_
Di sebuah ruang tunggu terminal, 16.00 wib
Lupa, itulah kata yang sedang berusaha kutanamkan dalam otakku. Melupakanmu
adalah misi terbesarku. Akankah mungkin? Sementara, sejak aku menginjakkan kaki
di kota ini aku tak pernah lelah menyusuri semua kenangan tentangmu. Mengunjungi
tempat yang berjejak kita. Ah, rasanya sudah lama tak menyebut kata kita. Sejak
aku dan kamu memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri.
Seperti saat ini, aku duduk di ruang tunggu terminal. Dulu sebulan
sekali bahkan tiap minggu kamu selalu menyambut kedatanganku dan mengantar
kepergianku ke kotaku. Kamu tahu, rindu telah dimulai sejak kamu mengucap “
baik-baik ya disana, sms saja kalau sudah sampai “.
Kamu selalu mengatakan, meski raga kita berjarak jangan biarkan
hati kita berjeda. Saat aku mulai lelah, bosan dan mengadu dengan rindu. Tapi jarak
yang dulu menguatkan kita adalah alasan yang kamu pilih untuk memutuskan pergi.
Tak jodoh? Kamu terlalu jika mengatakan keadaan itu demikian.
Katamu, tanaman untuk hidup tak hanya memerlukan air. Ia juga
memerlukan pupuk dan juga sinar matahari.
Dan ketika daunnya mulai menguning ia perlu dibantu untuk mematahkannya,
agar tunas yang baru lekas tumbuh.
Aku yang berjarak, tak pernah mampu melakukannya.
Aku masih berusaha menjadi teman terbaikmu, masih setia menunggu
kicauanmu di linimasa. Bagiku, kicauanmu adalah kabar bahwa kamu baik-baik saja.
Meski tak satupun mention mampir pada akunku.
Bodoh, dan aku menyadarinya. Aku tak pernah punya alasan untuk
membencimu atau untuk berhenti mencintaimu.
Senja mulai menguning, saat aku meraih gangetku. Memeriksa riuh
linimasa yang penuh dijejali twit dengan tagar puuisi senja. Ah, senja adalah
modus para pujangga untuk merangkai patah hati, rindu dan cinta.
Scroll gangetku berhenti pada salah satu twit dan itu kamu;
Waktu yang sama, tempat yang sama tapi
tanpamu.
Aku mengerutkan dahi, berasumsi. Ah, berasumsi dengan twit
ternyata menyiksa. Aku memasukkan gangetku pada tas. Melihat antrian bus antar
kota berbaris rapi, suara teriakan petugas terminal mengumumkan kedatangan dan
keberangkatan bus yang beradu dengan suara penjaja makananan dan minuman. Suasana
inilah yang hampir enam bulan ini selalu aku rindukan. Aku menghela nafas.
Bus berwarna putih itu berhenti tepat di depanku. Para calon
penumpang berebut untuk masuk. Aku tersenyum, ingatanku kembali padamu. Dulu,
kamu selalu ikut berlari saat bus yang aku tunggu datang. Memilihkan tempat
duduk yang nyaman untukku. Dan kamu akan melambaikan tangan saat kamu telah
menemukan tempat yang nyaman untukku. Aku dengan tersenyum menuju kearahmu, dan
saat aku sudah duduk kamu akan mengacak rambutku, “ hati-hati ya “. Lalu kamu turun
dan tetap berdiri, menunggu bus yang membawaku menjauh.
Seperti yang dilakukan lelaki ini, lelaki yang berdiri tak jauh
dariku.
Dia?
Semoga itu bukan kamu. Meski asumsiku tak pernah salah jika hal itu
berhubungan denganmu.
Komentar
Posting Komentar