Langsung ke konten utama

Terima Kasih Twitter, Kamu Membuat Saya Tetap Waras

copyright pexels
Jika ada ajang award untuk pemilihan sosial media paling baik, maka saya akan memilih twitter. Mengapa demikian? Platform dengan logo burung ini memang favorite saya sejak tahun 2009. Tempat saya nyampah, tentu saja selain di blog ini.

Twitter selalu menyenangkan bagi saya. Ketika banyak orang berpindah ke Path saya tetap bertahan di sini. Ketika semua orang sibuk memperbaiki feed instagram, saya masih setia dengan si 'burung' ini. Iya, karena twitter membantu saya tetap waras.

Bahkan, ketika tahun 2013 saat saya memutuskan untuk deactivated akun perihujan_ pun hanya bertahan beberapa bulan saja. Saya kembali membuat akun baru dan beruntung perihujan_ kembali menjadi milik saya kembali. Hahaha.

Twitter membuat saya tetap waras. Ketika banyak orang menganggap remeh orang-orang yang memilih curhat di sosial media. Katanya; "kurang perhatian ya?"

Tidak selamanya twit super galau dan mengenaskan yang saya tulis adalah isi hati saya. Bisa saja saat menulisnya saya sedang nyemil es krim dan liburan. Saya pernah menulis di sini.

Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mendaur emosinya. Ada yang melalui curhat di buku harian, menulis rangkaian kalimat galau di media sosial dan jika beruntung mereka curhat kepada orang terdekatnya. Lalu apa yang harus kamu lakukan saat mendapati salah satu teman kamu curhat di media sosial?
Saya adalah salah satu orang yang gemar curhat di media sosial. Saya suka mengeluh di sana terutama di platform twitter. Beberapa teman dekat mungkin sudah hapal, mana twit pura-pura galau dan galau sebenarnya. Saat saya menulis di sana saya tidak sedang menjual drama dan merasa perlu dikasihani. Saya hanya sedang menyelamatkan jiwa saya. Saya hanya butuh tempat untuk meluapkan emosi.

Seorang sahabat terbaik pun tidak akan bisa mendengarkan keluhan yang sama berulang kali bukan? Well, mungkin bagi beberapa orang keluhan saya menyebalkan terkesan menjual drama dan hal cemen lainnya. Tapi percayalah, kicauan saya di twitter berhasil menyelamatkan jiwa saya.

Tahun 2017 adalah tahun terberat saya. Memaafkan menjadi sangat sulit untuk saya lakukan. Maka, saya seringkali 'nyampah' di twitter untuk meluapkan kekesalan. Meskipun kata beberapa teman mengapa tidak ngomong langsung sih? Marah sekalian nunjuk mukanya sekalian alih-alih ngetwit serem begitu? Waktu itu saya hanya tertawa, meskipun pada akhirnya menangis juga.

Ya, beberapa orang memilih untuk 'balas dendam' dengan menganggap ia tidak ada mesipun ia ada. Saya adalah salah satu orang yang melakukan cara itu. Bukankah hal yang paling menyakitkan dalam hidup adalah saat kita tidak dianggap ada?

Jadi, terima kasih twitter telah membuat saya tetap waras.

Kantor, 28 Oktober 2017

Komentar

  1. Sama-sama ..

    *mewakili twitter

    BalasHapus
  2. Wow, baru kali ini saya bisa melihat alasan yang jelas kenapa orang-orang lebih memilih meluapkan emosinya melalui dunia maya.

    Menarik ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah, btw...terima kasih sudah berkunjung di blog perihujan

      Hapus
  3. Alasan yang sama, setelah 8 tahun main Twitter dan tak kunjung berhenti.

    BalasHapus
  4. Mana link soal cerita terberat tahun 2017-nya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...