Langsung ke konten utama

Maaf Sayang, Aku Ingin Terlihat Cantik di Matamu

Cantik/copyright pexels.com


Ih, kamu enggak pantas pakai baju model begitu.
Hahaha...itu alis apa ulet bulu.
Habis minum darah neng?
Kebanyakan gaya kamu, pakai make up segala.
Muka gitu aja, enggak perlu di apa-apain. Gak bikin kamu tambah cantik.
Ih, dasar kebanyakan gaya.

Sering mendengar kalimat tersebut? Saya sering, berada di lingkungan yang didominasi banyak wanita tidak membuat saya dikelilingi oleh orang yang lebih paham wanita. Yah, justru mereka ini yang paling gencar membicarakan kelemahan kaumnya. Paling jago nyinyirnya. Miris? Jelas.

Ada yang salah dengan wanita yang ingin terlihat cantik? Sepertinya menjadi pesakitan ketika seseorang berusaha meratakan alisnya. Sepertinya menjadi sah dicaci maki ketika seseorang memoles bedak yang tebal dan wajahnya terlihat lebih putih dibanding lehernya. Duh, jadi wanita yang ingin cantik memang tidak mudah.

Well, sayangnya yang gemar merendahkan ini kebanyakan dari kaumnya sendiri. Wanita. Coba saja lihat akun instagram yang berbagi gosip dari selebriti hingga mereka yang ingin dianggap selebriti. Membaca kolom komentarnya membuat kepala saya berdenyut. Semudah itu mereka berkomentar?

Seringkali kita lupa mengukur standar hidup kita harus sama dengan orang lain. Ah, sayangnya saya juga lupa, berkomentar tentang keburukan orang lain itu candu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...