2019 itu lima tahun yang lalu.
Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.
Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu.
Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu.
Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru?
Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’.
Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga tahu tentang kebiasaanku merayakan hal kecil dalam hidup.
Katanya kebetulan-kebetulan yang membawanya tetap tahu tentangku. Ia sengaja tidak block atau mute semua akun sosial mediaku, tapi ia tidak mengikutiku. Kalau kata anak media, halaman rekomendasinya selalu kembali ke akun sosial mediaku. Hingga tanpa sengaja ia akan menemukanku, bahkan saat aku mengubah semua akun sosial mediaku.
Tapi aku tetaplah si paling rasional yang tidak percaya kebetulan, aku menganggapnya kebetulan yang ia bilang adalah kesengajaan. Bukankah tidak ada kebetulan di dunia ini? Kebetulan yang terjadi karena ia masih meyakini lintasan itu masih sama. Padahal sudah lama aku mengganti lintasanku.
Sementara aku sulit menemukan radar kabarnya, karena sudah lama tak menganggap kami satu lintasan. Apakah ini yang membuatku tak pernah menjangkaunya?
Komentar
Posting Komentar