Kamu berubah.
Masak sih?
Iya...
Itu adalah penggalan obrolan saya dengan seorang teman lama, jika memang bisa dibilang seperti itu. Kami sudah mengenal sejak lama, saya sempat menyimpan rasa padanya. Karena sadar diri, waktu itu saya memilih mundur.
Dulu dia mengenal saya sebagai seorang yang pendiam, kutu buku, jauh dari kata gaul, dan tomboy. Mungkin sederet alasan itu yang membuatnya sulit untuk mengetahui dan membaca perasaan saya. Dan entah sekarang saya bersyukur dia tidak pernah menyadari itu. Akhirnya, saya hanya menjadi teman baiknya, teman diskusinya, tentang cinta dan citanya.
Saya? Tetap sebagai si cewek kurang gaul, karena yang ia tahu teman saya ya itu-itu saja. Sama sekali tidak populer. Jauh dari kriteria cewek yang pantas untuk diajak sebagai pendamping wisuda. Hehehe, bukankah pencapaian pacaran jaman kuliah sampai itu saja? *kemudian dirajam*
Sampai kemarin kita reuni kecil-kecilan, saat dia dinas ke kota ini. Dia melihat saya yang sekarang, dia berkata saya berubah. Meski saya sama sekali tidak pernah tahu apa yang berubah dari saya. Saya masih suka tertawa ngakak di depannya, makan banyak tanpa malu, tetap memanggilnya dengan sebutan 'Dudul' seperti dulu, masih terlihat jauh dari kata gaul menurut seleranya. Tetapi tetap mengatakan bahwa saya berubah.
Mungkin benar saya berubah, tak lagi menganggapnya istimewa. Saya tak merasa berdebar-debar saat melihat dia tersenyum, pun tak begitu terpesona dengan kacamata frameless nya. Perasaan saya padanya berubah.
Ternyata benar jarak dan waktu dapat merubah seseorang, pun dengan hati.
Malang, 16 November 2015.
2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku. Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...
Komentar
Posting Komentar