Langsung ke konten utama

Honeydew Tea.



Dia duduk di pojok ruangan cafe itu. Ia mengaduk gelas yang isinya tinggal separuh itu. Pandangannya kosong, menatap kursi yang ada di depannya. Aku menatapnya iba, sudah seminggu ini dia selalu datang ke Cafe ini dan selalu memilih tempat itu dan akan memesan minuman dan makanan yang sama.
Dan Ia akan melakukan hal yang sama, duduk diam di tempat itu selama dua jam bahkan kemarin ia duduk di tempat itu hampir tiga jam. Iya, aku selalu mengamati Dia. Jauh sebelum ia menjadi pelanggan setia di Cafe ini.
Dulu ia tak pernah datang sendiri, ia selalu datang bersama temannya dan seorang wanita yang ia sebut-sebut sebagai sepupunya. Dan tak jarang ia datang berdua saja dengan seorang wanita, yang ia panggil Meme. Panggilan adik perempuan di golongannya, tapi aku tahu wanita yang ia panggil Meme itu tidak sipit, matanya belo berbeda dengan matanya yang sipit meski terbingkai oleh kaca mata. Kulitnya tidak putih, wanita itu berkulit sawo matang.
Dari semua pengamatan itu, aku tahu wanita itu adalah kekasihnya. Karena pada suatu hari di akhir bulan Juli, Ia memberi wanita itu kejutan dan wanita yang ia panggil meme itu berseru, mengucap sesuatu yang entah mengapa sedikit membuat ngilu di hatiku.
“Terima kasih ya sayang, aku gak nyangka kamu bakal membuat kejutan seperti ini untukku. I love you.” Dan wanita itu, mengecup pipinya.
Dan Ia mengucapkan, yang entah aku berharap suatu saat ia mengucapkan itu untukku.
“I love you too, sayang. Selamat bertambah usia ya sayang.”
Dan, hari itu ia meminta semua ruangan Cafe dipenuhi dengan mawar merah. Dan ia memesan agar tak ada satu pun pengujung selain dia malam itu. Ia ingin merayakan ulang tahun kekasihnya itu hanya berdua saja di Cafe ini.
Minggu berikutnya ia semakin sering datang bersama kekasihnya di Cafe ini. Aku melihatnya tampak bahagia, bercerita banyak hal kepada wanita yang ia panggil Meme itu. Dan aku pun melihat hal yang sama di wanita itu. Mereka bahagia.
Bulan berganti, aku semakin jarang melihat ia datang ke Cafe ini. Aku hanya melihat temannya datang bersama wanita yang ia sebut sebagai sepupunya itu datang kesini tapi tanpa kehadirannya. Aku mendengar namanya disebut-sebut.
Dan malam itu dua bulan yang lalu, Ia datang ke Cafe ini ia bersama teman dan juga sepupunya. Wajahnya kusut, beberapa kali aku melihat Ia mengusap-usap wajahnya. Ia tampak kacau, ia melepas kacamatanya, dan aku samar melihat matanya memerah menahan tangis atau tangis yang ia paksa untuk berhenti lebih tepatnya. Temannya menupuk punggungnya pelan, menabahkan.
Sementara, sepupunya tampak marah. Beberapa kali menyebut-nyebut nama wanita kesayangannya. Meremas-remas tanganya, ia tampak emosi. Sementara temannya berusaha menenangkan.
Aku menatapnya iba, ada apa dengannya?
Mereka akhirnya saling diam, dan sesekali aku mendengar ia membisikkan nama wanitanya. Berulang kali, dan aku melihat wajah sepupunya semakin merah.
Hari ini setelah berbulan-bulan Ia tak datang lagi ke Cafe ini. Ia datang lagi, bahkan datang setiap hari selama seminggu ini. Ia selalu memesan minuman dan makanan yang sama. Makanan dan minuman yang selalu dipesan oleh wanita yang ia panggil meme itu.
“Honeydew Tea, madunya yang banyak ya, jangan lupa es batunya sedikit saja. Dan aku mau Roti bakar strawberrynya ditambah parutan keju dan coklat bubuk.”
Pesanan yang selalu diucapkan oleh wanitanya. Dan seminggu ini Ia selalu memesan minuman dan makanan itu.
Entah hari ini aku merasa harus mendekatinya, mengajaknya berkenalan mungkin. Hari ini genap empat tahun aku selalu membuntuti Lie. Aku harus berani, bukankah aku pun memiliki kesempatan yang sama?
Hari ini atau tidak sama sekali.
Aku mendekati mejanya, berdiri di depannya.
“Boleh duduk di sini?” tanyaku, sembari menarik kursi di depannya. Dan meletakkan Honeydew Tea di mejanya.
“Aku Thalita, kenalkan.” Kataku, dan mengulurkan tanganku ke arahnya.

Malang, 19 Oktober 2014.


 Nb : Foto koleksi pribadi.
*Salah satu view di Omah Caffee, Malang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...