Langsung ke konten utama

Hello Boy (D) -- 3




Terkadang kita tak pernah tahu, mengapa kita melakukan hal-hal yang sulit diterima logika @perihujan_
Aira memasukkan uang receh ke box telpon koin depan sekolah di daerah Jalan Bandung. Ia menekan-nekan nomor yang sudah ia catat di telapak tangannya. Nomor telpon yang akan selalu ia ingat diluar jangkauan alam sadarnya.
Tut..tut..tut..
Belum ada jawaban, ia menutup horn telpon lalu kembali memencet-mencet nomor telpon yang sudah ia ingat.
Tut..tut..tut..
Sampai akhirnya ketika ia hampir putus asa telpon pun diangkat.
“Hallo.. “
“Eh, iya...hallo “ jawab Aira gugup, ia tak siap jika telpon akan diangkat secepat itu.
“Cari siapa?“ tanya suara diseberang.
“Hmm, Raflinya ada?“
“Ooo.....Raafffffffffffffffliiiiiiiiii, ada telpon “
Aira menjauhkan horn telpon, gila suaranya sampai memekakkan telinga Aira. Ia, mengernyitkan dahi, memandang aneh horn telpon.
“ Ya, Hallo “
Dheg, tiba-tiba Wajah Aira memanas.
“Hei ini Rafli, cowok yang ingin kamu ajak bicara. Ayo Ra, kok malah bengong”
“Hallo..”Suara diseberang mengejutkan Aira.
“ Ya...ini Rafli? “ Ulang Aira.
“ Iya, ini siapa ya ? “
Jantung Aira seakan berhenti. Tangannya memilin kabel telpon, gugup.
“Ini siapa ya?” Rafli mengulang pertanyaannya.
“ Disty “ oups, Aira berbohong. Nama itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Aira.
“ Disty ? “ ulang Rafli.
“ Iya, Disty..lupa ya? “
“ Maaf, Disty siapa ya?“
“ Waah, Rafli jahat ni. Masak lupa ma aku? Ini, aku Disty yang pernah kenalan waktu di Jogja. Ingat gak ? yang dulu ketemu di Parangtritis “ kata Aira cepat, ia tak ingin Rafli menyadari kebohongannya.
“Jogja? Parangtritis?“ Rafli mengulang pernyataan Aira.
“ Iya Parangtritis. Ingat gak, itu loh yang rebutan untuk menyewa andong” Ucap Aira ngawur, ada tawa yang berusaha ia sembunyikan.
“Duuh, lupa ya?“
“...”
“Ya udah kalau lupa, padahal dulu Rafli pernah bilang kalo aku kuliah di Malang boleh menghubungi Rafli. Sekarang aku sudah kuliah di Malang. Di Brawijaya, tapi kamu kok lupa sama aku?” ucap Aira parau.
Rafli hanya diam saja tak menjawab apa-apa. Entah apa yang ada dipikirannya, geli? Aneh?, entahlah yang pasti sekarang Aira diam tersadar Rafli tak berkomentar apa pun tentang ceritanya tadi.
“Loh, sudah ceritanya?“ tanya Rafli enteng.
“Iya “ jawab Aira lempeng, tak bersemangat.
“ Kamu bohong ya? Tentang ketemu aku di Parangtritis, aku benci pantai jadi gak mungkin kita bertemu di Parangtritis. Kamu sudah tahu aku kan? Hayo ngaku? Kamu siapa sih?“
“Loh kok gak percaya sih? Tadi aku kan sudah bilang kalau aku Disty kita ketemu waktu di Jogja“ kata Aira meyakinkan.
“Ha..ha..ha...”
“Kok ketawa? “ tanya Aira bingung.
“ Habisnya kamu lucu, tapi aku suka nama kamu loh..Disty “
Dan benar saja wajah Aira memerah lagi.
“Ya udah deh kalau Rafli lupa, kapan-kapan aku telpon lagi buat ngingetin kamu tentang aku tentang Adistya Gisantia Putri. Catet ya Raf, hihihihi...“
“ Emang aku mau?“
“Harus mau, he..he..he.. Daaghhh Rafliiiiii”
Diujung sana laki-laki itu menatap horn telpon dengan bingung. Jogja? Parangtritis? Disty? Kecuali Parangtritis, dia menyukai semua cerita itu. Sementara Aira, berdiri mematung di depan box telpon koin, hatinya tak karuan. Wajahnya bersemu merah. Sepanjang sisa hari, Aira tak berhenti tersenyum.


Photo diambil disini klik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...