Terkadang kita tak pernah tahu, mengapa kita melakukan hal-hal yang sulit diterima logika @perihujan_
Aira memasukkan uang receh ke box
telpon koin depan sekolah di daerah Jalan Bandung. Ia menekan-nekan nomor yang
sudah ia catat di telapak tangannya. Nomor telpon yang akan selalu ia ingat
diluar jangkauan alam sadarnya.
Tut..tut..tut..
Belum ada jawaban, ia menutup
horn telpon lalu kembali memencet-mencet nomor telpon yang sudah ia ingat.
Tut..tut..tut..
Sampai akhirnya ketika ia hampir
putus asa telpon pun diangkat.
“Hallo.. “
“Eh, iya...hallo “ jawab Aira
gugup, ia tak siap jika telpon akan diangkat secepat itu.
“Cari siapa?“ tanya suara
diseberang.
“Hmm, Raflinya ada?“
“Ooo.....Raafffffffffffffffliiiiiiiiii,
ada telpon “
Aira menjauhkan horn telpon, gila suaranya sampai
memekakkan telinga Aira. Ia, mengernyitkan dahi, memandang aneh horn telpon.
“ Ya, Hallo “
Dheg, tiba-tiba Wajah Aira memanas.
“Hei ini Rafli, cowok yang ingin kamu ajak bicara. Ayo Ra, kok malah
bengong”
“Hallo..”Suara diseberang
mengejutkan Aira.
“ Ya...ini Rafli? “ Ulang Aira.
“ Iya, ini siapa ya ? “
Jantung Aira seakan berhenti. Tangannya
memilin kabel telpon, gugup.
“Ini siapa ya?” Rafli mengulang
pertanyaannya.
“ Disty “ oups, Aira berbohong.
Nama itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Aira.
“ Disty ? “ ulang Rafli.
“ Iya, Disty..lupa ya? “
“ Maaf, Disty siapa ya?“
“ Waah, Rafli jahat ni. Masak
lupa ma aku? Ini, aku Disty yang pernah kenalan waktu di Jogja. Ingat gak ?
yang dulu ketemu di Parangtritis “ kata Aira cepat, ia tak ingin Rafli
menyadari kebohongannya.
“Jogja? Parangtritis?“ Rafli
mengulang pernyataan Aira.
“ Iya Parangtritis. Ingat gak,
itu loh yang rebutan untuk menyewa andong” Ucap Aira ngawur, ada tawa yang
berusaha ia sembunyikan.
“Duuh, lupa ya?“
“...”
“Ya udah kalau lupa, padahal dulu
Rafli pernah bilang kalo aku kuliah di Malang boleh menghubungi Rafli. Sekarang
aku sudah kuliah di Malang. Di Brawijaya, tapi kamu kok lupa sama aku?” ucap
Aira parau.
Rafli hanya diam saja tak
menjawab apa-apa. Entah apa yang ada dipikirannya, geli? Aneh?, entahlah yang
pasti sekarang Aira diam tersadar Rafli tak berkomentar apa pun tentang
ceritanya tadi.
“Loh, sudah ceritanya?“ tanya
Rafli enteng.
“Iya “ jawab Aira lempeng, tak
bersemangat.
“ Kamu bohong ya? Tentang ketemu
aku di Parangtritis, aku benci pantai jadi gak mungkin kita bertemu di
Parangtritis. Kamu sudah tahu aku kan? Hayo ngaku? Kamu siapa sih?“
“Loh kok gak percaya sih? Tadi aku
kan sudah bilang kalau aku Disty kita ketemu waktu di Jogja“ kata Aira
meyakinkan.
“Ha..ha..ha...”
“Kok ketawa? “ tanya Aira
bingung.
“ Habisnya kamu lucu, tapi aku
suka nama kamu loh..Disty “
Dan benar saja wajah Aira memerah
lagi.
“Ya udah deh kalau Rafli lupa,
kapan-kapan aku telpon lagi buat ngingetin kamu tentang aku tentang Adistya
Gisantia Putri. Catet ya Raf, hihihihi...“
“ Emang aku mau?“
“Harus mau, he..he..he.. Daaghhh
Rafliiiiii”
Diujung sana laki-laki itu
menatap horn telpon dengan bingung.
Jogja? Parangtritis? Disty? Kecuali Parangtritis, dia menyukai semua cerita
itu. Sementara Aira, berdiri mematung di depan box telpon koin, hatinya tak
karuan. Wajahnya bersemu merah. Sepanjang sisa hari, Aira tak berhenti
tersenyum.
Photo diambil disini klik
Komentar
Posting Komentar