Langsung ke konten utama

Lost (D)


 
Aku mengaduk floatku. Sudah hampir setengah jam aku berada di restoran waralaba milik paman sam ini. Mengingat kejadian setahun yang lalu, peristiwa yang membuatku mati rasa dan tak lagi mampu membedakan rasa manis dan pahit. Dan keberanianku untuk menemui Dia di restoran ini setahun lalu adalah rekor dalam pertemananku dan Dia.
Dengan hidangan yang sama, float dan kentang goreng aku mengenang peristiwa itu. Tetapi setahun yang lalu aku tak sendiri, ada Dia disini, duduk di depanku seperti seorang polisi mengintrogasi buronannya. Bertanya banyak hal, semua hal yang ingin aku simpan sendiri tanpa ada orang lain yang tahu termasuk Dia.
 Siang itu adalah rekor pertemuan pertama kami, setelah pertemanan semu kami di dunia maya. Benar-benar absurd, di dunia maya pun aku menjadi orang lain bukan diriku sendiri. Berharap sisi lain dari diriku dapat Dia terima.
“ Kamu mengenal nomor ini ? “ tanyaku waktu itu, sambil menyebutkan deretan angka.
Ada rona kaget diwajahnya, “ ya “
“ Nomor Shanti ? “ tanyaku lagi
Dia mengangguk.
“ Tapi, bagaimana kamu tahu kalau nomor itu adalah nomor Shanti? Oh....pasti dari kemiripan nomor HP ku dan dia “ tebaknya.
Aku menggeleng.
“ lalu ? “
“...”
Dia mengaduk sundaenya, dalam diam. Aku melirik ke arahnya, kami begitu dekat tapi kenapa aku merasa jauh dan semakin tak dapat menggapainya.
“Kamu mengenal Nugroho? “ tanyaku, setelah hampir 10 menit kami terdiam.
“Siapa lagi itu?”
“Yang aku tahu, dia adalah teman SMA Shanti, sampai sekarang aku tidak mengerti alasan Shanti meminta Nugroho untuk mencariku, memaksa Nugroho untuk masuk dalam kehidupanku. Menjadi temanku disaat hatiku sudah kamu buat remuk redam, menjadi teman yang mungkin paling mengerti betapa aku sangat kecewa padamu “ ucapku, sambil membuang muka. Aku tak ingin Dia melihatku membendung air mata yang mungkin sudah jatuh.
“Dis, kenapa kamu tidak pernah cerita tentang masalah ini? aku temanmu kan? dan ini berhubungan denganku. Kenapa kamu begitu sakit hati padaku Dis? “
“Dan kapan itu terjadi?“ lanjutnya.
“Apakah akan merubah semuanya? Apakah akan mengembalikan kamu tetap menjadi temanku?“ elakku.
 Dia menghela napas, sesak. Yang tersisa adalah sepi, kami terbenam dalam pikiran kami masing-masing.
 Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan pada saat pertemuan itu. Tapi semua tak sanggup aku ungkapkan. Betapa pun waktu itu aku sangat tersiksa dengan teror yang dilakukan oleh Shanti dan Nugroho. Aku terlalu menyayangi Dia, hingga aku tak ingin ia bersalah atas pilihannya. Aku ingin Dia mengangap pilihannya adalah terbaik. Mungkin, terlihat buruk dihadapannya bukankah itu lebih baik, daripada ia merasa simpati padaku hanya karena kasihan. Dan aku lebih memilih mundur waktu itu.
Pikiranku melayang ke peristiwa 5 bulan sebelum pertemuanku dan Dia di restoran waralaba ini. Peristiwa yang membuatku menangis semalaman, dan tak henti-henti menyalahkan diri.
“Aku hanya ingin memastikan saja Raf, benarkah kamu yang SMS kemarin ? benarkah kamu yang memberi pesan offline di YM kemarin sore?“  tanyaku, aku menahan air mataku yang hampir pecah.
“ Iya...”
Dan aku menangis.
“ Tapi hanya sms yang pertama saja, yang kedua kamu tahu sendiri kan...? “ ralatnya cepat.
“Shanti..?” tanyaku. Dengan suara yang kubuat sewajar mungkin. Aku tak ingin dia tahu aku menangis.
“Dis, sungguh aku minta maaf. Aku lupa tidak menghapus SMS mu, aku lupa membiarkan pembicaraan kita di YM terbaca oleh Shanti. Dis, maafkan aku...”
Aku kacau, aku tak dapat berpikir dengan baik. Bukankah aku adalah temannya? Mengapa Dia begitu rapi menyimpanku, kenapa Shanti begitu cemburu padaku? Apa yang salah dari hubungan kami?
“Dis...”
“Seharusnya aku yang meminta maaf..”
“...”
“Makasih ya Raf, telah menjadi temanku. Aku janji ini adalah telpon terakhirku. “
Memang benar itu adalah telpon terakhirku kepada Dia, sebelum akhirnya Dia menelponku meminta untuk bertemu setelah lima bulan dari telpon terakhir itu. Dan akhirnya kami berjanji untuk bertemu di restoran ini. Kami yang tidak pernah bertemu. Aku tertawa saat mengetahui bahwa Dia begitu terkejut atas kenyataan bahwa aku adalah gadis yang sering ia temui di perpustakaan, kantin dan setiap jengkal kampusnya. Dan aku adalah gadis yang menemaninya menjalani hukuman panitia OSPEK waktu itu.
Aku benar-benar tak habis fikir, pertengkaran Rafli dan Shanti yang aku lihat dari ruang praktikum adalah pertengkaran mereka tentang aku. Tentang chatting dan SMA jadwal terbit komik Detektive Conan terbaru, dan betapa semakin serunya petualangan Luffy dan kelompok bajak lautnya. Apakah aku terlalu membuat Shanti begitu cemburu ?
Aku membaca SMS Rafli yang dikirim oleh Shanti untukku.
“ Jangan pernah telpon, SMS, dan chatting denganku lagi !!!! “
 Dan aku membenamkan wajahku ke bantal, sore itu aku menangis sejadi-jadinya.
Aku mengaduk floatku yang tinggal seperempat, berharap menemukan choco chipnya. Aku mengaduk tasku mencari handphoneku. Saat dari Ipodku melantunkan lagu Yovie and Nuno yang Sempat Memilki, aku memencet tombol menu pada handphoneku.
Menu, phonebook, Rafly’IJO’, option, delete
“ Are you sure to delete Rafly’IJO’ ? “
Dari Ipodku Dikta mengalunkan lagu.
“ Aku hancur, ku terluka namun engkaulah nafasku.
Kau cintaku, meski aku bukan dibenakmu lagi.
Dan kuberuntung sempat memilikimu. “
Ok.
Tanpa sempat menyadari ada Dia di kursi tempat kami bertemu setahun yang lalu, aku meninggalkan tempat kenangan itu. Aku tak mungkin mengingat-ingat Dia terus kan? 


Pic : google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...