Langsung ke konten utama

Awal ( Ailya )



Sebaik-baiknya hidupku, adalah mencintaimu yang telah kuniatkan dari dulu – Tody Pramantha

Aku melihat handphoneku, ada satu pesan singkat darimu.

“ Aku masih bersama Melia, tunggu aku di Coffee Bean “

Jadi urusan itu belum selesai? Tanya batinku. Aku berjalan menuju Coffee Bean bandara. Duduk di sofa dekat kaca. Ah, selalu saja tempat ini menjadi tempat favoritemu untuk memintaku menunggumu.
Aku memesan hot choco, seperti kamu tahu itu adalah minuman favoriteku. Dan belakangan baru aku tahu minuman coklat adalah minuman favorite Melia juga, wanitamu sebelum kamu bertemu denganku.
Setiap kali aku menyadari begitu banyak persamaanku dengannya, aku selalu menangis. Mungkinkah aku hanya akan menjadi bayangan Melia? Salahkah aku cemburu setiap kali menyadari itu. Meski berulang kali kamu meyakinkanku bahwa aku adalah terakhir untukmu.
Dan demi berbeda dengan Melia, aku tak ingin memanggilmu dengan mas tapi kakak. Ya, setidaknya panggilan kakak pun berbeda dari orang-orang sekitarmu yang memanggilmu koko. Dan aku berterima kasih kamu tak pernah mempermasalahkan hal itu.
Hampir satu jam aku menunggu di coffee bean ini, dan aku belum menemukan tanda-tanda kamu segera menyusul kesini. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, ah jam tangan ini selalu mengingatkanku padamu. Hadiah saat pertama kali kita jadian, katamu jam tangan ini untuk mengingatkanku agar tak datang terlambat saat kita berjanji untuk bertemu. Tapi sepertinya aku yang selalu menunggumu.
Hari ini tepat satu tahun aku dan kamu  memutuskan untuk bersama, kita.
Bukankah aku harus menerima dan mengakui bahwa aku hanya seorang Ailya. Siapa aku dibandingkan dengan Melia? Menjadi yang kedua untuk orang yang kita cintai. Membayangkan saja dulu aku tak pernah, dan aku percaya bahwa cinta tak pernah mememinta kepada siapa ia dijatuhkan. Termasuk bertemu denganmu setelah kegagalanmu.
Masih teringat jelas telponmu kemarin malam. Saat memintaku untuk datang ke Jakarta. Ya, hari ini kamu memintaku untuk menemui Kayla – putri semata wayangmu. Gadis kecil yang selalu membuatku diburu rasa cemburu. Bagaimana aku tidak cemburu, di setiap pertemuan kita yang selalu kamu bahas adalah Kayla, Kayla dan Kayla. Tapi aku harus belajar untuk tabah, bukankah aku mencintai lelaki yang sama dengan Kayla?
Suatu hari nanti saat aku menjadi teman hidupmu yang paling setia aku pun akan mencintai Kayla, mencintai putri kebangganmu. Tak masalah bukan jika mulai hari ini aku belajar untuk mencintainya, mungkin tak sebesar yang kamu harapkan. Tapi aku akan belajar.
Saat tujuh puluh lima menit aku menunggu, akhirnya kamu datang dengan satu buket mawar merah. Dengan senyum khasmu kamu duduk di sebelahku.
“ Maaf, membuatmu menunggu “ ucapmu, lalu mengecup pipiku.
Aku menggeleng, tak masalah. Bukankah memang selalu seperti ini?  Aku harus selalu menunggumu.

***

Aku berdiri terpaku saat melihat gadis bergaun merah maroon dan berbando merah itu berlari ke arahmu, ia memelukmu erat. Aku tahu ada rindu yang membuncah disana. Saat aku mengalihkan pandagan ke arah lain, kudapati wanitamu sedang menyusut air matanya. Aku tersenyum ke arahnya, menyembunyikan perih. Ia pun demikian, Melia. Ah, tiba-tiba saja cemburuku membuncah.
Benarkah aku dapat menyita sedikit cintamu di ruangan ini?


Pic : hasil nodong bang Tody :)
  ~ cerita ini lanjutan dari postingan yang kemarin, lihat "aku dan kenangan ( Melia ) ~


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Tahun Lalu Itu 2019

    2019 itu lima tahun yang lalu. Aku tersenyum membaca pesan dari dia. Ternyata sudah lima tahun kami tidak saling menyapa, meskipun update kehidupannya masih melintas di linimasa akun linkedin-ku.  Lima tahun lalu namanya selalu muncul pertama kali di notifikasi whatsApp-ku. Dulu, kami pernah meyakini bahwa jarak hanya satuan untuk orang lemah. Dan akhirnya, kami menjadi bagian orang lemah itu. Kata orang akan selalu ada kesempatan kedua untuk hal yang terlewatkan. Tinggal kita mau atau tidak. Menganggap itu kesempatan atau hanya sekadar pembuktian semata. Dan ia pun menyapaku kembali setelah lima tahun berlalu. Kamu akhirnya ke Jepang ya? Gimana, seru? Menyebalkan sekali pertanyaannya, karena akhirnya aku tahu ia tak pernah berubah. Ia tetap melihatku, sementara aku hanya tahu dari update linkedin-nya. Menandakan dia ‘hidup’. Bagian menyebalkan lainnya aku melewatkan masa lima tahun itu, tapi ia tetap melihatku bertumbuh. Ia tahu aku mengeluhkan banyak hal, ia juga ta...

Berlibur ke Malang Selama 24 Jam? Berikut Tempat yang Wajib Kamu Kunjungi

Kota Malang memang penuh daya tarik maka tidak heran jika setiap hari selalu saja wisatawan yang datang untuk berkunjung ke kota ini. Malang memang berbeda, meskipun di beberapa tempat mulai macet tidak mengurungkan niat pecintanya untuk berkunjung. Jika kamu berniat berkunjung ke kota Malang hanya sehari, itenary ini bisa menjadi pertimbangan buatmu. Yuk, mari! 06.00 – 07.30, Jalan Kawi Mengisi perut dengan sajian khas kota Malang bisa menjadi alternatif buat kamu. Salah satu yang khas dari kota Malang adalah Pecel Kawi, yang berada di Jalan Kawi. Jika kamu tidak seberapa suka Pecel, di sepanjang jalan Kawi banyak kuliner lainnya. Lokasinya pun masih satu tempat dengan Pecel Kawi, ada Nasi Buk Madura, Widuri yang menyediakan masakan campur, dan Nasi Krawu. 08.00-10.00, Alun-Alun Puas dengan sarapan khas kota Malang. Kamu bisa mencari angkot LG menuju arah pusat kota. Ada Alun-alun, dan Tugu 0 kilometer di bawah jembatan penyebrangan. Tidak perlu khawatir, di alun-alun...

Morning Pages

Menulis untuk jiwa/copyright  rawpixel.com   Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change - Julia Cameron. Menulis bagiku adalah obat. Menuangkan keluh, mencatat mimpi, hingga mematik harapan. Itulah alasan kenapa aku banting setir untuk berkarir di media. Harapannya sih, seru kali ya menulis terus dapat duit. Meskipun pas terjun kerja di media, ternyata pekerjaanku bukan menulis seperti yang di catatan-catatan yang pernah kutuliskan. Aku menulis untuk orang lain. Maka journaling adalah obat buatku. Saat aku tidak bisa menulis tentang hal-hal yang sensitif, menuliskan di buku jurnalku membuatku merasa tenang. Menulis untuk memberi makan jiwa aku menyebutnya. Biasanya setiap pagi sebelum memulai aktivitas aku menuliskan banyak hal di lembaran jurnalku. Hal random seperti enak mana tahu atau tempe, hingga seserius mengapa semakin ke sini hal-hal yang disebut ‘pertanda’ itu semakin jelas. Menuliskan hal itu ...